Nasionalisme Abang-abang Lambe

1186

Kita orang Indonesia, memang paling ahli dalam berbasa-basi. Kesopanan kita, tercermin paling tidak dari pilihan ungkapan dan basa-basi. Kita tidak suka dengan ungkapan-ungkapan vulgar yang to the point dalam rangka menjaga jati diri bangsa.

Misalnya, mau bilang rampok uang negera, kita perhalus dengan koruptor. Mau bilang pecat kita ubah dengan pemakzulan. Tahanan kita bilang warga binaan, penjara jadi lembaga pemasyarakatan, gratisan pajak jadi amnesty, penodongan jadi pungli, suap jadi money politik, gratifikasi atau uang saku. Pelacur jadi tuna susila serta banyak lagi contohnya. Bahkan saking sopannya kita, rampok uang negara begitu supel dan murah senyum ketika disorot kamera.

Dan, dasar Firman Murtado, apa saja ia curigai dan ia paiduh. Termasuk nasionalisme yang tiba-tiba usum di bulan Agustus ini.

“He he he, mentang-mentang bulan Agustus, semua dicat merah. Gapura, pagar, balai desa, tiang bendera, semua dicat merah-putih. Mentang-mentang bulan Agustus, semua orang tiba-tiba begitu nasionalis.” Gumamnya di Warung Cak Manap.

“Di dunia maya juga begitu. Foto DP, postingan, bahkan hoax berbau nasionalisme. Duh!”

Baca Juga :   Rumahnya Dirusak, Perangkat Desa Ikhlas

“Lha ini kan memang musimnya?” sergah Mas Bambang, tak terima.

“He he he, nasionalisme kok usum-usuman, abang-abang lambe!”

“Lha terus bagaimana, Mas Firman? Apa ndak usah upacara bendera? Ndak usah mengibarkan bendera?” sebagai abdi negara, eh benalu negara, Mas Bambang muntab.

“Nasionalisme itu di sini, mas.” ujar Firman Murtado menunjuk dada dan kepalanya.

“Ndak usah seremonial, tapi harus kita praktekkan dalam setiap hembusan nafas kita. Ndak usah pakai pasang baliho, ndak perlu pakai kostum pejuang, tapi harus kita tunjukkan dalam setiap langkah sekecil apapun.” Firman Murtado tambah dadi.

“Bagaimana contohnya? Apa sampeyan mau ngowah adat, melarang orang merayakan Agustusan?” Mas Bambang tak kalah sengit.

“Ya ndak. Malah harusnya kita Agustusan setiap saat, setiap hembusan nafas. Kita ini, ngakunya nasionalis, tapi segala gerik-gerik kita kok menghancurkan dan menggerogoti negara? Ngaku nasionalis, tapi pilkades kok milih calon yang menyogok? Itu kan, sama dengan mempersilahkan pejabat untuk menghabiskan dana desa? Kalau kita ngaku nasionalis, konsekuensinya ya memilih calon yang ndak nyogok, biar dana desa ndak digunakan nyauri utang pas calonan. Kita kan tahu kalau dana desa itu utangan bank dunia atau IMF? Lha kalau digunakan nyauri utang biaya calonan, atau buat mbangun gorong-gorong untuk beternak nyamuk, kan sama saja dengan membuat bangsa ini bangkrut?”

Baca Juga :   Awas! Hampir Semua Penjual Mainan Anak Jual Komik Porno

“Kita ngaku nasionalis, tapi kalau belanja ndak mau ke pasar tradisional. Kalau belanja ke swalayan milik penjajah biar keuntungannya digunakan untuk mendanai proyek bangkrutisasi NKRI atau setidaknya pemberangusan pengusaha lokal.” Racau Firman Murtado, tambah menjadi.

“Ngaku nasionalis, pas Agustusan tumpengan segala, tapi sawah dijual sama pemilik modal asing untuk dijadikan pabrik. Anak-anak kita terpaksa menjadi kuli di sana. Bahan pangan mahal karena harus impor. Tanah kita jual buat penanam modal asing,  buat pabrik, pabriknya buang limbah ke sungai. Ahirnya tambak, sawah, sungai dan laut rusak. Ahirnya kita tambah melarat sampai garam saja pakai import.”

“Kita ngaku nasionalis, tapi malam Agustusan malah nanggap orkes dangdut. Harusnya kan tahlilan buat arwah para pejuang di Barzakh sana?”

Baca Juga :   Koran Online 23 Maret: Ki Bagong Mundur dari Golkar hingga Banjir Terjang 3 Kecamatan

“Dan inna lillahi, karena kita terlalu sibuk dengan seremonial, sampai hal-hal urgen seperti masalah pendidikan tak pernah kita perhatikan. Kita para orang tua, belum pernah musyawarah bagaimana caranya melakukan revolusi mental biar masyarakat jadi cerdas. Ahirnya, hingga kini kita tetap terjajah oleh neo kolonialisme karena kita ikhlas menerima nasib sebagai bangsa yang ndak cerdas-cerdas juga. Membaca berbagai hal, mengikuti berbagai wacana dan isu dunia itu penting biar kita ndak terus jadi bulan-bulanan. Tapi, kita sudah merasa puas kalau punya paketan, nggedabrus dan menebar hoax di dunia maya. Internet itu kan, harusnya lebih mencerdaskan kita, bukan membuat kita makin suka bikin pitenah dan mengembangkan bakat mesum? Zaman globalisasi, kita kok sudah merasa puas hanya dengan membuka situs-situs ndak jelas di dunia maya. Jiaaann!”

Mas Bambang mingkem, lalu ngambul. Walk out dari warung Cak Manap.

_________
Penulis : Abdur Rozaq (WartaBromo)