Palu

1368

Saya hubungi jaringan saya di barongsai. Juga tidak bisa. Saya hubungi seorang doktor universitas di sana. Yang saya ikut mengujinya saat meraih gelar doktor. Sama saja.

Saya coba lewat jaringan keluarga. Adik menantu saya kawin dengan orang Palu. Ia sendiri tidak berhasil menghubungi sang istri. Dan anaknya. Padahal ia lagi kerja di Banjarmasin.

Hatinya terus gundah. Ia putuskan ke Palu. Lewat Makassar. Kini masih dalam perjalanan darat. Bisa 12 jam.

Ketika pertama disebut: tsunami terjadi di Donggala. Saya tidak khawatir. Donggala itu dataran tinggi. Paling hanya bagian-bagian kecil pantai yang terkena.

Tapi begitu disebut Palu saya ingat: wilayah padat penduduknya berupa dataran rendah. Dekat pantai. Terutama di sekitar muara sungai Mutiara.

Tapi saya juga belum terlalu khawatir. Kawasan muara sungai itu jauh dari laut lepas. Pantainya berada di ujung paling jauh sebuah teluk. Teluk Palu. Teluk yang sangat panjang. Bagian padat penduduk itu benar-benar jauh dari laut terbuka. Terlindung gunung Donggala.

Baca Juga :   Yes..!! Sudah Pegang SIM, Polisi Tak Lagi Takut Polisi

Teluk ini begitu panjangnya. Sering jadi petunjuk arah pendaratan pesawat. Landasan bandara Palu memang searah dengan teluk Palu.

Saya tidak menyangka yang meninggal begitu banyaknya: lebih seribu orang. Data Senin pagi mencapai 1.100 orang. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

Mungkinkah itu karena tsunami terjadi di senja hari? Ketika pantai di teluk itu lagi ramai?

Teluk itu memang kian cantik belakangan ini. Dipercantik. Dengan jalan baru di sepanjang pantai. Taman Ria. Water front city.

Kian banyak juga hotel. Di pantai sini. Maupun di seberang sana. Ada Mercure. Ada Swissbel. Diperkirakan juga masih banyak korban di bawah reruntuhannya. Seperti di Roa Roa.

Saya pernah di satu hotel bersama istri. Hotel baru. Yang kamarnya sangat menarik. Menyentuh air laut. Saya ingin tahu nasib hotel itu. Pasca gempa ini.

Baca Juga :   Ditawari Rp 100 Juta Pertahun, Pertemuan Warga dengan PT Merak Deadlock

Kawasan teluk ini kian populer sejak ada jembatan. Di muara sungai. Jembatan terpanjang di Palu. Orang sana menyebutnya Golden Gate-nya Palu. Begitu banyak orang berfoto dengan background jembatan ini.

Saya sedih lihat di media sosial: jembatan ini roboh. Bangkainya masih berada di tempat asalnya. Tapi sudah dalam keadaan membujur seperti mayat.

Lalu saya perhatikan. Titik gempa itu di daratan. Searah dengan bentuk teluk. Berarti tsunami itu datang dari teluk. Bukan dari arah laut lepas.
Sampai tulisan ini saya edit jam 18.00 kemarin belum ada kabar baru. Tentang penghuni 317 itu. Berarti sudah tiga hari tiga malam suami-istri ini berada di bawah reruntuhan.

Dua alat berat lagi bekerja di situ. Tapi terlalu sedikit untuk mengejar waktu.

Korban-korban lainnya berarti juga punya nasib serupa. Puluhan. Ratusan.
Akhirnya saya bisa menghubungi putri kamar 317 itu. Namanya Erika. Alumni elektro Univeritas Hasanuddin.

Baca Juga :   Nelayan Probolinggo Unjuk Rasa Protes Larangan Penggunaan Cantrang

”Bukan saya menerima SMS bapak saya,” ujar Erika. ”Tapi menerima SMS dari kakak saya,” kata Erika lagi.

Kakaknya itu juga lagi ke Palu. Bersama bapak dan ibunya. Akan menghadiri kawinan sepupunya. Sehari setelah gempa. Rencananya.

Ayah-ibunya di kamar 317. Sang kakak di kamar sebelahnya. Selamat. Berhasil keluar dari reruntuhan. Lalu kirim SMS ke Erika. Adiknya. Yang kini bekerja di PLN itu.

Erika ingin nekat ke Palu. Mencari bapak-ibunya. Tapi semua keluarga melarangnya.

Dan pernikahan itu sendiri diurungkan.

Melihat kacaunya keadaan di Palu, ada baiknya disediakan kapal Pelni yang besar. Di pelabuhan. Kalau masih bisa disandari. Kapal itu bisa jadi tempat pengungsian yang aman. Untuk 3 ribu orang. Perkapal.

Air bisa cukup di kapal itu. Kalau perlu dilayarkan ke Balikpapan. Hanya perlu waktu satu malam.