Unan-unan Antara Pengurangan Kalender dan Toleransi Beragama

1440
Warga Suku Tengger lereng Gunung Bromo di Kabupaten Probolinggo, menggelar ritual Unan–unan pada bulan Dhesta atau ke Sebelas. Ritual ini, diadakan setiap lima tahun sekali menurut penanggalan Suku Tengger. Unan-unan diselengarakan untuk mengurangi penanggalan itu, diikuti oleh semua agama yang dianut warga Suku Tengger. Meski ritualnya menggunakan adat Agama Hindu yang dianut mayoritas Suku Tengger.

Laporan: Sundari Adi Wardhana

IRINGAN tembang Jawa terdengar dengan merdu di Sanggar Kembang, Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo, pada Jumat (23/11/2018) siang. Ribuan warga setempat dan Desa Kedasih, Kecamatan Sukapura, memadati halaman Sanggar yang tak begitu luas itu.

Mereka nampak antusias mengikuti ritual Unan-unan yang dipimpin oleh Dukun Pandita Sumartam. Kaum pria mengenakan kain, berkemeja hitam dan udeng. Sedangkan perempuan mengenakan kain jarik dan berkebaya.

Di depan Dukun Pandita dan warga, ada sebuah ancak atau keranda bambu. Pada ancak ini terdapat kepala, kulit dan kaki kerbau yang dibiarkan utuh. Selain itu ada juga 100 tusuk sate daging kerbau, 100 tumpeng dan 100 jajanan pasar j dikemas dengan daun klotok, yang diletakkan diatasnya. Semua sesaji dihias dengan bunga di atas ancak ini.

Sementara tak jauh dari Ancak ini, ada Berkat (bungkusan berisi nasi, pisang dan lauk pauk). Berkat ini, dibagi dalam beberapa bungkus besar yang sudah ditandai sesuai dengan rukun tetangga (RT) dan jumlah warganya. Nanti diakhir ritual, Berkat ini dibagikan ke warga saat pulang. Berharap sesaji tersebut membawa keberkahan dan keselamatan.

Ritual unan-unan dimulai dengan penyembelihan kerbau sehari sebelum pelaksanaan. Kerbau itu lantas diambil bagian tubuhnya untuk diolah menjadi sesaji berupa sate. Sedangkan kepala, kulit dan kakinya dibiarkan utuh untuk diarak. Kemudian sesaji diarak menuju Sanggar Pamujan yang berada di atas bukit tidak jauh dari perkampungan warga. Para pemangku adat, kepala desa dan tokoh agama berada di barisan terdepan dengan diiringi alunan musik tradisional Tengger.

Selama ritual, Dukun Pandita membacakan mantra-matra sebagai pujian dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ritual ini, dilaksanakan menurut agama Hindu, agama mayoritas Suku Tengger.

“Unan-unan digelar agar desa dan masyarakat terjaga keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka. Jika tak dilengkapi akan menimbulkan energi negatif. Unan-unan merupakan adat yang menjadi kepercayaan. Sehingga tak ada wabah penyakit, kriminalitas maupun kejahatan yang lain,” ujar Ki Dalang Lebbari, tokoh masyarakat Desa Wonokerso.

Ia menuturkan istilan Unan–unan berasal dari kata Tuna yang artinya berkurang. Dalam penanggalan Suku Tengger, setiap bulan memiliki 30 hari. Sementara, pada bulan tertentu, hanya terdapat 29 hari. Jika dijumlah terdapat selisih antara lima hingga enam hari dalam setahun. Sehingga selama lima tahun genap 30 hari atau sebulan yang hilang. Untuk melengkapi kekurangan tersebut, selisih hari itu dimasukkan ke dalam Bulan Dhesta atau bulan kesebelas dalam penanggalan tiap lima tahun sekali.

“Tidak diketahui secara pasti, kapan ritual itu dimulai. Kendati semikian, ritual itu sudah mendarah daging di tengah warga Suku Tengger. Seperti pelaksanaan ritual lainnya, yakni Upacara Karo dan Yadnya Kasada. Jadi bulan yang tidak diselamati atau ritualnya, maka diadakanlah Unan-unan,” kata dalang Wayang Topeng Tengger ini.

Unan-unan sendiri, dilaksanakan berdasarkan agama Hindu. Meski begitu, mereka yang menganut agama lain tetap mengikuti ritual ini. Sebagai informasi, jumlah penduduk Desa Wonokerso sendiri mencapai 2.439 jiwa. Mayoritas penduduknya menganut agama Hindu, yakni 70%. Sementara sisanya menganut agama Islam, yakni sekitar 30 %.