Meski begitu agama ditempatkan sebagai keyakinan setiap individu. Namun seluruh masyarakat Suku Tengger harus terlibat dan aktif dalam melestarikan adat budaya. Terutama upacara adat yang rutin diselenggarakan suku Tengger di lereng Gunung Bromo.
“Di Wonokerso, semua adalah keluarga, semua saudara. Tetap tentram dan rukun. Tak ada masalah agama. Setiap umat, bebas beribadah sesuai keyakinan dan umat lain ikut menghormatinya. Sedangkan saat upacara adat, semua tokoh agama berkumpul,” kata Sudir Supriyadi, tokoh pemuda Desa Wonokerso.
Contoh nyata menurut Sudir, adalah pada ritual Unan-unan tahun ini yang bertepatan dengan hari Jumat. Dimana umat Islam mempunyai kewajiban untuk menunaikan iabah salat Jumat berjamaah.
“Mereka yang muslim, setelah ritual di Sanggar Kembang, pulang. Mereka kemudian ke masjid untuk beribadah, sementara yang non muslim, melanjutkan kegiatan di balai desa,” tuturnya.
Usman, salah satu umat Muslim, berharap dengan adanya Unan-unan itu, warga semakin rukun dan rejeki bertambah. “Nasi nanti dijemur kemudian ditaruh di ladang, kalau daging dan lain-lain ditaruh di atas pintu. Itu sebagai tanda terimaksih kepada Ibu Pertiwi,” tuturnya.
Tak hanya orang tua, para pemuda-pemudi juga antusias mengikuti ritual Unan-unan ini. Selain berpotensi menjadi tujuan wisata, ritual ini harus dijaga dan dilestarikan.
“Upacara adat ini diwariskan turun temurun harus dilestarikan,” ujar Anggia Dwi Kasadanova.
Ritual Unan-unan ini, juga bisa menjadi wisata religi. Selain itu pengunjung bisa belajar kisah toleransi di Desa Wonokerso. Meski berbeda agama tetapi tetap rukun dan tak pernah ada konflik antaragama. (*)