Sejak 2 tahun lalu, Udeng Okra (Orang Kraksaan) digaungkan menjadi ciri khas atau identitas diri Kraksaan yang merupakan ibukota Kabupaten Probolinggo. Dengan harga yang relatif terjangkau, Udeng Okra kini menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Serta ikon wisata bumi Dewi Rengganis.
Laporan : Sundari Adi Wardhana
Sejak 18 April 2017, Bupati Probolinggo P. Tantriana Sari menjadikan Udeng Okra sebagai buah tangan Kabupaten Probolinggo. Okra dengan motif batik, menggambarkan aktivitas masyarakat Kraksaan. Sudah dipatenkan penggunaannya dalam acara resmi Pemkab Probolinggo. Semisal sidang paripurna DPRD Kabupaten Probolinggo. Rangkaian gelaran Hari Jadi Kabupaten Probolinggo (Harjakapro) ke 273 yang jatuh pada 18 April lalu.
“Udeng Okra ini memiliki seribu cerita dan filosofi dibaliknya. Harapannya, udeng ini bisa dikenal masyarakat luas. Orang pakai udeng langsung mengingat Probolinggo. Ke depan, kami ingin udeng ini menjadi identitas diri Probolinggo. Saat ini, setiap acara di lingkungan Pemkab, kami mewajibkan semua pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo untuk memakai udeng,” kata Bupati Tantri.
Upaya membudayakan Okra melalui pejabat Pemkab diharapkan mampu memicu efek positif. Yakni diikuti pemakaiannya oleh masyakarat secara umum. Tidak hanya di acara resmi dan formal, tetapi juga di acara non formal. Dimana masyarakat pun juga pakai udeng dalam beraktivitas. Misalkan saat berjualan di pasar, atau lainnya semuanya pakai udeng.
“Jadi, saat ada pengunjung yang ke Probolinggo, tahu bahwa udeng itu milik kita,” harapnya.
Sementara Wakil Bupati Probolinggo, HA. Timbul Prihanjoko mengatakan upaya lain dari pemkab adalah dengan melakukan pelatihan-pelatihan bagi warga. Baik melalui Diperindag, Diskop UKMM mapun Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Supaya semakin banyak warga yang menjadi perajin Okra.
“Ini merupakan bagian dari pemkab untuk memberdayakan masyarakat melalui potensi daerah. Karena sesuai tagline kita, bagaimana memaksimalkan potensi daerah untuk pembangunan ini. Misal Okra dan batik, ya kita berdayakan,” ujar Timbul pada kesempatan terpisah.
Seiring berjalannya waktu, kini sudah ada 11 perajin Okra. Yakni di Kecamatan Paiton ada 10 perajin dan 1 perajin di Kecamatan Krejengan. Satu buah Okra dijual dengan harga bervariasi, tergantung kualitas kain batiknya. Termurah dijual Rp 35 ribu, menengah Rp 50 ribu dan paling mahal Rp 75 ribu. Penjualannya pun cukup menggembirakan.
“Selain mereka yang murni membuat Okra, ada juga perajin batik yang membuatnya,” kata Mahrus, salah satu perajin batik.
Meski sudah berusia 273 tahun, hingga kini Kabupaten Probolinggo belum juga mempunyai pakaian khas atau adat. Padahal, wilayah yang berada di zona tapal kuda ini, kaya akan akar adat dan budayanya. Budaya ini merupakan perpaduan dari Budaya Jawa dan Budaya Madura, alias Budaya Pandalungan. Sehingga Odeng Kraksaan (Okra) menjadi representasi budaya Pandalungan (budaya Jawa dan Madura).
“Ini akan menguatkan partisipasi masyarakat dalam pembangun daerah. Sebab dalam sejarahnya, Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu daerah yang strategis, baik di jaman Kerajaan Majapahit maupun kolonial Belanda. Okra diharapkan mampu menunjukkan jati diri atapun kearifan lokal warga. Hal itu guna menguatkan kembali adat dan budaya Kabupaten Probolinggo,” kata Wakil Ketua DPRD setempat, Ahmad Musayyib Nahrawi.(*)