Plaza Gempol: Hidup Segan, Mati pun Tak Mau

2410
Bahkan, penghargaan oleh Presiden Jokowi sebagai pasar ramah lingkungan kepada Plaza (baca;pasar) Gempol pun terasa tanpa guna. Nyatanya, pasar itu ‘telah mati’.

Oleh As’ad

ADALAH bencana Lumpur Lapindo, tahun 2005 silam yang membuat Pasar Gempol meredup. Bersamaan dengan pasar-pasar lain yang ada di sekitar peta terdampak meluapnya lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo itu.

Pasar Gempol yang semula menjadi denyut nadi perekonomian warga Gempol dan sekitarnya, pelan-pelan akhirnya mati suri. Pun begitu, semangat untuk menghidupkan kembali pasar yang berada tak jauh dari simpang tiga Gempol ini masih ada.

Paling tidak, dengan dana lebih dari Rp3 miliar saat itu, Pemkab Pasuruan mencoba melakukan revitalisasi pasar ini.

Dengan dana miliaran rupiah itu, Pemkab kembali berharap aktivitas ekonomi di wilayah yang menjadi pintu masuk Kabupaten Pasuruan dari arah Surabaya itu kembali hidup. Apalagi, akses lalu lintas kembali normal setelah berbulan menanggung macet imbas lumpur.

Baca Juga :   Koran Online 13 Maret : Video Dump Truk Sasak Pikap Bikin Ngeri, hingga Remaja Berbuat Tak Senonoh ke Tetangga Gara-Gara Film Biru

Namun, sekali lagi, gelontoran duit ternyata tak cukup mampu merubah keadaan. Bisa jadi sudah dari sono-nya Pasar Gempol harus mati.
Nyatanya, sejak pasar itu diresmikan beberapa tahun lalu, bangunan berlantai dua itu tak kunjung menunjukkan kehidupan.

Untuk mengatakan Pasar Gempol telah mati, mungkin bukan kalimat yang tepat. Nyatanya, masih ada pedagang yang beraktivitas di sana.
Hidup segan, mati pun tak mau. Kalimat ini bisa jadi lebih tepat untuk merepresentasikan kondisi Pasar Gempol saat ini.

Lihat saja. Sunyi dan sepi. Gambaran itu begitu terlihat di bangunan bercat hijau muda itu. Deretan kios yang berjajar di lantai satu dan dua, nyaris tak ada yang buka. Pintu-pintu rolling door tertutup rapat. Lorong-lorong pasar kosong melompong kian melengkapi kondisi pasar menuju ajal.

Baca Juga :   Pasar Grosir Konveksi Modern Dibangun di Gempol

Celakanya, situasi itu sudah berlangsung sejak pasar itu diresmikan, 2 tahun silam. Meski dibangun dengan fasilitas yang lebih memadai dibanding pasar sebelumnya, para pedagang tetap saja enggan masuk. Alasannya, pengunjung sepi. Tak seramai ketika sebelum terjadi bencana Lumpur Lapindo.

Potensi market, memang menempati urutan pertama dalam logika berdagang atau berbisnis. Saat lokasi di mana tempat berdagang itu tak menjanjikan, pedagang manapun akan berpikir dua kali untuk menginvestasikan modalnya di tempat tersebut.

Pasar Gempol, untuk biaya sewa atau hak pakai, bisa jadi relatif murah. Tapi, jangan lupa, bagi calon pedagang, mereka tentu tidak hanya cukup membayar sewa kios, tanpa memikirkan isinya. Padahal, isi kios inilah yang justru memerlukan biaya besar.

Tidak perlu berpikir pemerintah mungkin akan membiayai pedagang membelikan isi kiosnya. Tetapi, paling tidak, pedagang butuh garansi, bahwa pengunjung akan ramai jika mereka mengalokasikan modalnya untuk belanja dagangan. Sayangnya, itu tidak mereka temui.

Baca Juga :   Pasar Gempol Dapat Anugerah Pasar Ramah Lingkungan dari Jokowi

Alih-alih garansi membuat Pasar Gempol ramai. Sekadar usaha membuat pasar ramai saja, tidak pernah tampak. Padahal, dengan dukungan anggaran yang begitu besar, mencari cara bagaimana membuat pasar itu ramai, bukan hal sulit.

Persoalannya, kembali lagi pada good will serta kepekaan pemerintah. Kepekaan untuk menangkap persoalan hingga bisa dicarikan solusinya.

Pasar Gempol yang dibangun dengan dana besar, tapi kemudian mati suri, jelas persoalan. Kecuali jika memang bangunan itu dimaksudkan untuk disiakan.

Hari Jadi ke-1.090 Kabupaten Pasuruan tahun ini sebenarnya adalah momentum. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan hari jadi biasanya diramaikan dengan banyak kegiatan. Bazar atau pasar murah misalnya.