Menyelami Sejarah Tengger (2)

1840
Bagi masyarakat setempat, Tengger bukan sekadar nama suku. Lebih dari itu, ia merupakan sistem tata nilai yang bersumber dari ajaran nenek moyang.

Laporan M. Asad

MASYARAKAT Tengger memiliki hubungan historis dengan Hindu.
Hal ini tampak dalam hubungan antara nama Bromo dengan Dewa Brahma dalam agama Hindu.

Gunung Bromo menjadi tempat pemujaan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai dewa Brahma. Bromo juga digunakan sebagai tempat penyucian para arwah untuk bisa naik ke kahyangan.

Selain itu, masyarakat Tengger juga erat kaitannya dengan Kerajaan Majapahit. Selain keberadaan prasasti Walandhit II, banyaknya alat yang berasal dari kerajaan zaman Majapahit yang masih dipakai para padhita saat upacara menjadi bukti akan hal itu.
Alat-alat itu antara lain prasen berangka 1242-1352 Saka (1321-1440 Masehi).

Baca Juga :   Disporaparbud Sesalkan Tarif Jip Bromo Melambung

Keadaan Tengger pada abad ke-16 sulit diketahui lantaran minimnya data dan bahan informasi yang diperoleh.

Meski demikian, dalam serat Kandha disebutkan adanya seorang guru agama yang sempat ikut berjuang melawan musuh Majapahit.
Namun, karena kegagalannya, keraton-keraton yang dahulu berada di bawah pegunungan Tengger dibongkar. Penghuninya diusir.

Memasuki abad-17, situasi politik di Pulau Jawa saat itu berubah dengan perpindahan pusat kekuasaan Jawa dari pesisir utara ke selatan.

Sultan Agung kala itu memperluas kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang pada akhirnya sampai ke daerah Tengger.

Pusat kerajaan pengikut agama Hindu yang masih ada berada di ujung timur Jawa, Blambangan. Itu pun, pada akhirnya berhasil dikuasai oleh Sultan Agung.

Saat dalam perjalanan kembali ke Jawa Tengah, pasukan Sultan Agung menghancurkan keraton Tengger. Meski demikian, pasukan tetap membiarkan masyarakat Tengger dengan identitasnya.

Baca Juga :   Hari ini, Bromo Lontarkan Abu Vulkanik

Memasuki abad ke-18, sebagaimana tulisan Robert Hefner, pejabat Belanda memasuki Tengger untuk mengamati keadaan sosial ekonominya.

Pada tahun 1785, didirikan sebuah pesanggrahan di Tosari. Sejak saat itu, mulai ditanam sayur mayur dari Eropa dan juga Amerika.

Seorang pria suku Tengger menuju ladangnya. Foto: M As’ad

Hasil pengamatan pejabat Belanda diperoleh gambaran bahwa masyarakat Tengger sangat jauh dari kejahatan, bebas dari candu.

Masyarakat Tengger juga memiliki karakter yang jujur dan lurus hati. Mereka adalah pemeluk Hindu yang memuja Brahma, Siwa dan juga Wisnu.

Saat perang kemerdekaan, peran masyarakat Tengger tidak begitu terlihat. Seperti diungkapkan, menjelang 1945, masyarakat Tengger mulai menggali lagi identitasnya dengan mempelajari sejarah nenek moyangnya yang berasal dari daerah Majapahit.

Baca Juga :   Atasi Macet Akhir Pekan, TNBTS Aktifkan Sistem Pemantau Digital Jip Bromo

Agama yang dipeluk waktu itu tidak jelas meskipun menyatakan diri sebagai pemeluk Budha.

Puncaknya adalah pada tahun 1973. Ketika itu, pemerintah mulai mengadakan pembinaan keagamaan. Saat itu, oleh tokoh masyarakat setempat disepakati bahwa agama masyarakat Tengger adalah Hindu Dharma yang sudah terintegrasi dengan adat setempat.

Penjelasan tersebut sejalan dengan penuturan Sutomo, sang dukun pandhita Suku Tengger.

Sebelumnya, mayarakat Tengger memang tidak memiliki kejelasan perihal ‘agama formal’ yang dianutnya. Tetapi, saat ditanya tentang agama yang dianutnya, masyarakat spontan menjawabnya sebagai pengikut Budha.

Kendati mengaku sebagai penganut Budha, tidak satu pun yang pernah membaca Tripitaka, kitab suci agama Budha. Begitu juga dengan Sidharta Gautama, tokoh pembawa ajaran ini. Masyarakat Tengger tak begitu memahaminya. Termasuk soal biksu. Mereka juga tidak tahu.