Waspadai “Lahar Dingin” Arjuno!

7133

Pada penghujung 2017, peristiwa serupa juga terjadi. Untuk kali pertama, air bah yang memenuhi sungai di pinggir Jalan Raya Purwosari-Malang meluber hingga ke jalan raya.

“Artinya, pola peristiwanya hampir sama. Kalau dulu karena ada kebakaran, pada 2017 karena imbas proyek tol,” terang Diono.

Gunawan Wibisono, ahli hidrologi asal Universitas Merdeka (Unmer) Malang mengatakan, secara teori, banjir terjadi karena rentang limpahan air menuju hulu terlalu cepat.

Ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah satunya, fungsi hidrologi kawasan hutan yang tak lagi jalan.

“Kenapa tidak jalan? faktornya juga banyak. Misalnya, karena tegakan di wilayah hutan semakin tipis, banyak lahan kritis, hingga kebakaran hutan,” jelas Gunawan.

Ia pun mencoba memberikan gambaran lebih teknis soal kemungkinan banjir di kala hujan mengguyur itu. ke halaman 2

Baca Juga :   Hujan Abu Bromo Tak Pengaruhi Penerbangan
Peta banjir Kabupaten Pasuruan per Maret 2019.

“Logika yang paling sederhana, saat hutan masih lebat, air hujan yang turun, akan lebih dulu ditahan daun, lalu ke ranting, sebelum akhirnya jatuh ke tanah,” imbuhnya.

Di tanah, lanjutnya, air pun akan masuk meresap dan ditahan oleh akar. Karena itu, ada beberapa tanaman keras yang memiliki karakter kuat dalam menyimpan air.

Akan tetapi, ketika banyak hutan gundul dengan berbagai penyebabnya, air hujan akan langsung melimpah ke sungai.

“Dan itu berlangsung dalam tempo cepat dan bersamaan. Ini yang kemudian membuat air melimpah karena badan sungai tak mampu menampung limpahan yang begitu banyak tadi. Di situlah banjir akhirnya terjadi,” terang Gunawan.

Karena itu, selain mengembalikan fungsi hutan dengan melakukan konservasi, langkah lain yang mungkin dilakukan adalah membuat rekayasa untuk memperlambat laju air.

Salah satunya dengan memperbanyak embung. Dengan begitu, limpahan air lebih dulu ditampung di embung sebelum ke, muara.

Tren Banjir Malam Hari

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang tahun lalu, tercatat dua peristiwa banjir besar terjadi pada musim penghujan lalu. Masing-masing terjadi tahun ini. Yakni pada 12 Februari dan 20 Maret 2019.

Baca Juga :   Band Seventeen hingga Komedian AA Jimmy jadi Korban Tsunami Banten

Hal yang membuat khawatir, selain intensitasnya yang semakin tinggi, adalah cakupan wilayahnya yang semakin bertambah. Akibatnya, daerah terdampak pun semakin luas.

Banjir yang melanda Rejoso 12 Februari lalu misalnya. Ribuan rumah di tujuh desa dari tiga kecamatan ikut terendam.

Desa-desa itu di antaranya Desa Prodo, Desa Winongan Kidul, Desa Winongan Lor (Kecamatan Winongan), Toyaning, Sambirejo (Kecamatan Rejoso) dan Kedawung Wetan, Kedawung Kulon, Kecamatan Grati.

Patut diketahui, banjir di dua desa di Winongan tersebut merupakan kali pertama dalam satu dasawarsa terakhir.

Selang sebulan lebih 8 hari, peristiwa serupa kembali terjadi. Celakanya, air yang datang sekira pukul 23.00 WIB itu lebih parah.

Tak hanya sisi timur dan selatan, wilayah barat Kabupaten Pasuruan juga tak luput dari terjangan banjir. Seperti Gempol dan Beji. Dua kecamatan yang berbatasan dengan Sidoarjo ini bahkan paling parah.

Baca Juga :   Ada Longsor di Desa Baledono Tosari, Jalur ke Gunung Bromo Tertutup

Berdasar data BNPB, yang terjadi sekira pukul 19.00 WIB itu hampir merata di daerah yang memang menjadi langganan banjir. Mulai Nguling, Rejoso, Winongan, Beji, hingga Gempol.

“Ketinggian air berkisar antara 50 sentimeter hingga 100 sentimeter,” demikian data yang disampaikan Pusdalops BNPB.

Menghadapi musim penghujan kali ini, Pemkab Pasuruan mengaku telah melakukan sejumlah upaya untuk meminimalisir terjadinya banjir. Salah satunya, menormalisasi sungai yang selama ini menjadi biang terjadinya banjir.