Lempuyangan, Sebuah Ingatan

1765

“Kenapa senyum-senyum sendiri, Mbak?” tanya ibu-ibu yang duduk di sebelahnya.
“O, anu… sebentar lagi… sebentar lagi saya akan menikah.”
“Hmm… selamat ya.”

Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa ternyata bukan hujan yang mampu menghilangkan ingatan. Tetapi, saya sebagai penulis cerita, juga tidak tahu pasti apa yang menyebabkan sepasang kekasih itu tiba-tiba saja dapat melupakan ingatan tentang kisah-kisah mereka.

Yang pasti adalah, keesokan harinya, ketika datang kembali sepasang kekasih lain yang harus berpisah di Satsiun Lempuyangan, hal magis itu terulang kembali. Lagi dan lagi. Dan seterusnya, sampai saat ini.

***
Stasiun Lempuyangan, 2060.
16.35. Desember yang hangat.
Tak banyak yang berubah dari Stasiun Lempuyangan. Hanya jadwal keberangkatan yang selalu berubah. Atau beberapa bar yang muncul di dekat stasiun. Selain itu, stasiun ini masih terbentuk dari partikel-partikel masa lalu. Sepasang kekasih duduk pada sebuah bangku di dekat loket stasiun, menunggu jadwal keberangkatan kereta, kemudian mereka akan berpisah dan tak ada dari kedua belah pihak yang akan mengalami kesedihan. Atau sebuah suara yang mengingatkan kepada orang-orang bahwa sebentar lagi keretanya akan berangkat.
Atau seorang kakek yang setiap sore datang ke stasiun ini hanya untuk melihat pergerakan kereta, yang orang-orang sekitar telah menganggapnya sebagai orang gila karena terus mengulang kalimat ini:

Baca Juga :   Arimbi

“Kepada stasiun, kepada kereta, seharusnya ada ruang, seharusnya ada waktu. Seharusnya, kita tak saling melupakan.” (*)