Lempuyangan, Sebuah Ingatan

1765

Hanya kalimat itu yang tersisa dalam lamunannya setelah kekasihnya pergi, hilang dilumat gerbong kereta dan senja. Dengan cara apa ia akan benar-benar melupakan kekasihnya? Dan bagaimana mungkin ingatan dapat dihilangkan dalam hitungan menit?

Selama kereta terus bergerak, pertanyaan-pertanyaan yang tak menemukan jawaban akan terus melayang-layang di kepala lelaki itu. Ia terduduk dengan tatapan kosong. Mungkin ia tak kelihatan menangis. Tapi percayalah, hatinya pasti teriris.

Dan hujan turun kembali. Semakin deras dan semakin deras lagi. Senja mulai menghitam. Sesekali petir menyambar langit. Tapi lelaki itu masih termenung. Seakan-akan ia sudah menjadi bagian dari sunyi. Bagian dari segala hal yang tak memiliki akal. Oh, apakah sebuah perpisahan dapat membuat orang menjadi kehilangan akal sehatnya? Atau, apakah karena lelaki itu penulis cerita pendek, sehingga ia terlalu mendramatisir perpisahannya, yang mungkin orang lain menganggap perpisahaan itu adalah perpisahan yang biasa-biasa saja?

Baca Juga :   Arimbi

Jglerrr….

Suasana di Stasiun Lempuyangan semakin menakutkan. Langit bergemuruh. Orang-orang merinding ketakutan.

“Sepertinya akan ada badai.”

“ku belum pernah melihat langit sehitam ini.”

“Semoga tidak terjadi apa-apa. Sebaiknya kita berdoa.”

Sedangkan di tempat lain, pada sebuah kereta di gerbong keempat, perempuan itu juga termenung. Ia sengaja duduk di dekat jendela. Melihat ke luar. Keretanya sudah jauh meninggalkan Stasiun Lempuyangan. Ketika keretanya melewati jembatan, ia teringat kembali ketika dulu duduk berdua dengan kekasihnya di sisi Jembatan Serayu. Mereka pergi ke sana hanya untuk melihat senja, yang tentu saja dari ajakan kekasihnya karena terobsesi dengan sebuah cerita pendek.

“Ada senja yang lebih indah daripada senja di Malioboro.”
“Di mana?”
“Di Jembatan Serayu. Kapan-kapan kita harus ke sana.”
“Hmm… jauh. Tapi baiklah, asal jangan bilang kau ingin menjadi senja.”
Mereka berdua tertawa, dengan nada yang tak sama. Ah, senja lagi. Seperti suatu bentuk suasana yang tak habis-habisnya untuk selalu diperbincangkan, seperti harga sebidang tanah yang selalu naik setiap tahunnya.

Baca Juga :   Sakit yang Tak Berujung

Maka secara alami, sepasang manusia yang baru saja dipisahkan itu akan terus mengingat kembali kisah-kisah mereka, sampai waktu yang tidak akan pernah mereka ketahui.

“Lihat, sedang apa laki-laki itu berdiri di tengah hujan?”
“Menghilangkan ingatan mungkin. Air hujan mampu menghilangkan ingatan, kata penyair kan begitu.”

“Tolol. Mana ada yang seperti itu?”
“Tapi coba lihat laki-laki itu. Hanya diam. Tatapannya kosong dan menengadah ke langit.”
“Orang gila!”
“Mana ada orang gila berpenampilan rapi seperti itu?”
“Oh, berarti calon orang gila!”

Orang-orang di Stasiun Lempuyangan sibuk berspekulasi tentang seorang laki-laki yang terdiam dalam guyuran hujan. Sehingga mereka semua tak sadar, bahwa ada hal magis yang baru saja terjadi.

Baca Juga :   Sumpah Lahir

Setelah hampir satu jam, laki-laki itu akhirnya berjalan ke arah orang-orang yang berteduh. Dan, hujan pun tiba-tiba berhenti.
“Sebenarnya apa yang sedang saya lakukan di sini?” tanya laki-laki itu kepada kerumunan orang yang sedang melihatnya penuh keheranan.

“Lihat, dia sudah gila!”
“Mana mungkin orang gila mampu menghentikan hujan?”
“Ah, kebetulan!”

Ketika semua orang masih sibuk berdebat, laki-laki itu sudah pergi menjauh. Dan tak ada satu orang pun yang tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Sedangkan di tempat lain, pada sebuah kereta di gerbong keempat, perempuan itu masih terlihat melamun di dekat jendela. Pada bayangan wajahnya di jendela, tiba-tiba ia tersenyum.