Manusia: dari Monyet hingga Menguasai Planet

3676

 

Hiruk-pikuk laku manusia sempat menjadi perhatian Yuval Noah Harari. Melalui karyanya, Sapiens, ia mencoba memberi gambaran bagaimana manusia ber-laku.

Laporan Amal Taufik

JUTAAN tahun yang lalu pengaruh manusia di dunia tak lebih dari seekor monyet, harimau, atau bahkan ubur-ubur. Namun hari ini, sebaliknya, manusia nyaris memiliki pengaruh mutlak dalam mengatur dunia. Bagaimana bisa?

“Enam juta tahun lalu, satu kera betina tunggal punya dua anak perempuan. Satu menjadi leluhur simpanse, dan satu lagi adalah nenek buyut kita,” tulis sejarawan Yuval Noah Harari dalam bukunya yang terbit 2017 silam itu.

Dalam buku tersebut Yuval menerangkan titik awal kecanggihan manusia dimulai antara 70.000 sampai 30.000 tahun lalu dengan apa yang olehnya disebut revolusi kognitif.

Revolusi kognitif yang muncul pada manusia menjadikanya memiliki cara berpikir dan berkomunikasi baru. Teori yang paling banyak dipercaya mengemukakan bahwa revolusi kognitif ini terjadi karena mutasi genetik tanpa sengaja mengubah penyambungan sel-sel otak manusia.

Apa akibatnya? Manusia akhirnya jadi satu-satunya makhluk hidup di dunia yang memiliki komunikasi paling unik dan rumit.

Diketahui, setiap binatang memiliki pola komunikasi tersendiri. Simpanse, misalnya, ia mungkin bisa mengingatkan seekor kawannya, “Awas di sana ada singa!”, atau “Lihat! Di seberang sungai ada pohon pisang.” Namun manusia bisa sama sekali berbeda, atau bahkan lebih dari itu.

Manusia bisa saja mengatakan, “Itu pohon pisang keramat. Jangan ambil pisang di sana” atau “Di hutan seberang sungai itu, ada arwah singa yang menjaga.” Makhluk hidup lain di dunia tak ada yang memiliki kemampuan seperti itu.

Cara berpikir dan komunikasi yang canggih seperti itulah yang kemudian membuka peluang manusia bekerja sama dalam jumlah besar, dan ditambah satu hal lagi yang tak kalah penting: kemampuan berimajinasi.

Melalui imajinasi, manusia menciptakan fiksi. Dan keyakinan akan fiksi merupakan landasan kolektif yang mampu membuat manusia bekerja sama dalam jumlah besar.

Orang-orang zaman dahulu menciptakan fiksi tentang dewa-dewa penjaga gunung, langit, dan lautan. Orang-orang arab kuno menciptakan fiksi pada berhala-berhala yang mereka ciptakan.

Melalui keyakinan-keyakinan itu mereka kemudian berkumpul dalam jumlah besar membentuk sistem, struktur sosial, ekonomi, nilai, kebudayaan, dan peradaban.

Dalam ceramahnya di forum TED (Technology Entertainment & Design), Yuval membandingkan kemampuan kerja sama yang dimiliki manusia ini dengan koloni lebah. Pada koloni lebah dikenal ada ratu lebah dan lebah pekerja. Pembagian kerjanya pun jelas: lebah pekerja selalu melayani ratu lebah.

“Namun mereka, misalnya, tidak dapat membunuh ratu lebah dan mengobarkan revolusi dan mendirikan pemerintahan komunis demi kesetaraan hak lebah pekerja,” ujar Yuval.

Hanya manusia yang bisa melakukan hal itu. Melalui penciptaan fiksi tentang tatanan kehidupan ideal, dan diyakini bersama-sama, manusia mampu bekerja sama dalam jumlah tak terbatas untuk memperjuangkan tatanan yang dikhayalkan tersebut.

Makhluk hidup lain hanya berkomunikasi untuk melukiskan realita. Manusia sebaliknya, ia menggunakan bahasa tidak hanya untuk menggambarkan realita, namun juga untuk menciptakan realita fiktif.

Kemampuan menciptakan realita fiktif itu tidak hanya pada tataran dongeng tentang dewa-dewa. Realita fiktif itu juga terdapat dalam bidang politik, ekonomi, dan hukum.

Dalam politik, misalnya, faktor paling penting dalam politik modern adalah bangsa dan negara. Negara dan bangsa, menurut Yuval, bukanlah realita obyektif.