Para Tunanetra Ini Butuh Uluran Tangan Segera

1939

 

Oleh: Asad Asnawi

Sebuah pesan WhatsApp tiba-tiba masuk, Kamis (8/04/2020) siang.

“Mas, kondisi teman-teman di Pasuruan gimana? Apa sudah ada bantuan ke temen-temen Pertuni?” Tulis Dandy Arifianto melalii percakapan whatsApp.

Sontak, pesan yang dilempar dengan tanda tanya itu mengingatkan saya. Di antara deret panjang dampak Covid-19 ini, ada orang-orang yang membutuhkan uluran segera.

Mereka adalah kaum difabel, orang-orang berkebutuhan khusus. Para tunarungu, tunadaksa, hingga tunanetra.

Dendy sendiri adalah pengurus Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia) Kabupaten Pasuruan. Tapi, “nasib baik” memaksanya pindah ke Jakarta setelah ia diterima sebagai analis HAM di Komnas-HAM.

Teringat pesan Dendy, saya pun mencoba mengontak Girman, ketua Pertuni Kabupaten Pasuruan. Dari Pak Girman inilah saya mendapat banyak cerita perihal keadaan para tunet.

Baca Juga :   Saat Anak-anak SD di Pucuk Lumajang Mendengar Cerita Wartawan

“Kalau kemarin (sebelum pandemi) teman-teman ada yang mijat, dan sebagainya. Sekarang kan semua berhenti,” kata Girman menceritakan.

Di Kabupaten Pasuruan, ada sekitar 32 tunanetra yang tergabung di Pertuni. Melalui organisasi ini, mereka berusaha berbagi cerita, berusaha mengembangkan diri agar bisa hidup mandiri.

Cerita Dendy atau Rizky yang menjadi tenaga pendidik adalah contoh sebagian dari para tunet yang berhasil melewati tantangan hidup.

Tapi, di luar itu, masih banyak para tunanetra yang tak “seberuntung” keduanya itu. Mereka-mereka inilah yang oleh Dirman membutuhkan uluran tangan segera. Pandemi membuat mereka tak lagi bisa bekerja.

Memang. Dengan situasi saat ini, ada banyak dari kelompok marginal yang tak lagi bisa bekerja. Tapi, jangan lupa. Mereka ini orang-orang berkebutuhan khusus. Mereka orang-orang yang tak bisa melihat rupa karena (maaf) buta. Kreativitas apa lagi yang bisa dilakukan tunanetra untuk menyambung hidup, dengan kemampuan terbatas?

Baca Juga :   Pemilu Tanpa Politik Uang, Mungkinkah?

Karena itu, ketika ada politisi yang tidak bisa membantu dengan alasan jatah sembako yang ada gambar dirinya sudah habis, akhirnya jadi lelucon. Sekali lagi, ia lupa bila para tunanetra ini tidak bisa melihat rupa. Jadi, jika ada pun, bungkus kresek pun tak masalah.

Sekali lagi, kesabaran para tunanetra ini harus kembali diuji. Menunggu bantuan paket sembako dari pemerintah pun belum jelas kapan realisasinya. Toh macam-macam bantuan yang digulirkan pemerintah selama ini, seperti BLT atau PKH, mereka juga tak pernah dapat.

“Belum Mas. Kemarin baru dirapatkan,” kata Kepala Dinas Sosial Kabupaten Pasuruan, Suwito Adi saat dikonfirmasi terkait pemberian paket bantuan kepada para difabel ini.

Baca Juga :   Hemat Berujung Kiamat di Pawai Merdeka

Birokrasi, seperti itulah adanya. Banyak rapat, koordinasi yang harus dilalui sebelum bantuan terdistribusi. Sampai kapan, wallahu alam.

Para difabel ini tidak sedang mengemis. Mereka meminta haknya sebagai pengejawantahan atas asas “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Saya hanya bisa berharap, siapapun yang membaca tulisan ini, bisa memberikan uluran tangan. Karena kaum difabel ini membutuhkannya segera. (*)