Cinta Pertama

1144
Cerpen
Pertemuan itu, entah mengapa, berlangsung sangat biasa saja. Tahun-tahun sulit dan trauma sepertinya berhasil mengubur cinta mereka berdua.

Oleh: Amal Taufik

JANUARI, 1995
Tiada rotan, akar pun jadi. Tiada Lekra, gambus pun jadi. Itu peribahasa yang dipegang Inor. Sejak Lekra diberangus tahun 1965, secara otomatis grup musiknya juga amblas. Tapi tidak dengan dirinya, bakatnya, dan cinta pertamanya: Sulistyowati. Setelah puluhan tahun mereka terpisah karena peristiwa berdarah itu, Inor kembali mengunjungi Banyuwangi dan tiba di stasiun Glenmore pada hari Selasa siang.

Ketika peristiwa berdarah itu terjadi Inor sedang di Yogyakarta belanja baju kebaya untuk ibu, adik, bibinya, dan Sulistyowati. Ia dan Sulistyowati sudah sepakat akan kawin lari bulan depan. Sebab ayah Sulistyowati yang seorang guru pesantren menolak anaknya dipinang seniman Lekra.

“Kau salat saja paling tak bisa, bagaimana mau jadi imam?!” kata Ayah Sulistyowati.
“Dalam darah saya tertanam semangat revolusi proletariat. Saya bisa jadi imam yang revolusioner,” jawab Inor.
“Revolusi-revolusi dengkulmu! Kau balik ke orang tuamu sana! Minta carikan ustaz. Belajar ngaji. Kalau sudah bisa akan kurestui.”

Baca Juga :   Mewakili Ningsih Tinampi, Surat Balasan untuk Asad Asnawi

Usai lamaran pertama itu, Masinor melamar lagi sampai tiga kali dan tiga-tiganya ditolak. Setelah lamaran ketiga itulah mereka akhirnya memutuskan kawin lari.
“Baik, kita benar sepakat? Kawin Lari?” tanya Inor.
“Ya. Aku tahu abahku. Bahkan sekalipun kau sudah bisa salat dan mengaji, ia tetap tak akan merestui. Sebab kau seniman Lekra,” kata Sulistyowati.
“Jika kau hengkang dari Lekra, baru abah akan menerimamu.”
“Walaupun tak salat dan mengaji?”
“Ya harus salat dan mengaji. Sedikit-sedikit. Masa kau tak bisa sama sekali?”
“Bisa. Tapi saat aku salat, dalam hati aku mendendangkan Internationale.”
“Dungu.”

Di Yogyakarta ia mendengar berita dari radio bahwa Soeharto memberi perintah untuk menumpas komunis sampai akar-akarnya. Mendengar kabar itu, Inor mengurungkan niatnya untuk pulang. Untuk waktu yang tidak ditentukan, ia tinggal di Yogya dan menulis surat kepada teman-temannya di Banyuwangi. Di sana, ia bergabung dengan grup musik gambus.

Baca Juga :   Karena Corona Bukan Sekadar Deret Angka

Semua teman-temannya, baik Lekra atau bukan, ia kirimi surat. Berbulan-bulan kemudian ia mendapat balasan surat dari salah satu teman musisi keroncong Banyuwangi. Dalam surat itu si teman mengatakan agar Inor jangan pulang dulu. Si teman itu juga mengabarkan kalau semua teman-temannya di Lekra “hilang”. “Kau masuk dalam daftar,” tulisnya.

Keluar stasiun, Inor mencari ojek. Ia sebenarnya sudah tidak ingin pulang. Teman-temannya sudah tidak ada. Pulang ke desa seperti membuka catatan kelam sebuah zaman. Menengoknya kembali rasanya menyakitkan. Sejak di Yogyakarta Inor putus komunikasi dengan keluarga, saudara, dan siapa pun orang-orang di Banyuwangi yang pernah berhubungan dengannya.

Tapi ia sangat ingin menemui Sulistyowati. Menebus janji puluhan tahun silam. Di dalam tasnya ia bawa kebaya yang ia beli saat peristiwa berdarah itu. Ia siap dengan segala yang terjadi: Sulistyowati mungkin telah menikah dengan laki-laki lain. Tapi janji tetaplah janji. Laki-laki yang layak dihormati adalah laki-laki yang menepati janji.

Baca Juga :   Berani "Speak Up", Berantas Pelecehan Seksual!

Saat mulai memasuki gapura desa, tukang ojek bertanya mana rumah yang dituju. Inor diam saja. Ia tenggelam dalam pemandangan petak-petak kebun jeruk dan wangi tembakau yang dijemur di hampir setiap halaman rumah. Suasana yang puluhan tahun telah ia tinggalkan. Banyak rumah-rumah baru. Beberapa kali ia melewati rumah-rumah temannya. Sebagian sepertinya masih ditinggali keluarganya. Sebagian lagi sudah dibongkar menjadi bangunan baru.