Cinta Pertama

1144

Tukang ojek mengulang lagi pertanyaannya. Inor memberi arahan menuju rumahnya, meski tak ada niat untuk berhenti di rumahnya. Ia hanya ingin lewat saja. Melihat seperti apa rumahnya sekarang. Apakah keluarganya masih di sana; apakah adiknya, Ulid, juga masih di sana. Sebab dulu Ulid menikah dengan seorang pelukis Lekra. Suaminya itu pasti sudah lenyap, pikirnya.

Ketika lewat depan rumahnya, betapa kaget Inor melihat Yanto bertelanjang dada menjemur kopi di halaman bersama Ulid. Dari jauh Ulid terlihat makin tua. Inor ingat, dulu Yanto adalah pemuda yang tergila-gila pada Ulid. Berkali-kali Yanto menyatakan cinta pada adiknya namun selalu ditolak. Ulid justru jatuh hati pada seorang pelukis Lekra yang pernah menjadikannya itu sebagai model. Lukisan itulah yang kemudian dijadikan mas kawin.  ke halaman 2

Ojek berhenti beberapa meter setelah melewati rumah Inor. Tukang ojek menoleh ke belakang.
“Kenapa kau berhenti?” tanya Inor.
“Sampeyan yang jelas mau ke mana! Saya bisa dapat penumpang lebih banyak kalau tidak nuruti sampean muter-muter,” si tukang ojek rupanya mulai kesal.
Inor membuka dompet lalu mengambil lembaran dua puluh ribu. Wajah tukang ojek itu berubah cerah.
“Nah! Kalau begini saya bisa antar sampean sampai Pelabuhan Ketapang.”
Perjalanan dilanjutkan. Sekarang menuju tujuan sebenarnya: rumah Sulistyowati.

Baca Juga :   Mewakili Ningsih Tinampi, Surat Balasan untuk Asad Asnawi

Ia tidak tahu apakah Sulistyowati masih tinggal di sana atau tidak. Kalaupun tidak, setidaknya pasti ada salah satu keluarga atau kerabat Sulistyowati yang tinggal sekitar situ. Dan jika benar tidak ada, ia akan titipkan kebaya itu pada siapa pun di sekitar situ asalkan masih keluarga atau kerabat Sulistyowati.
Rumah itu tertutup. Inor mengeluarkan lembar lima ribu lagi untuk tukang ojek.
“Kau tunggu ya. Aku tidak akan lama,” katanya.

Ia mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Seorang tetangga sebelah rumah celingukan lalu menghampirinya. Ia kenal wajah perempuan muda ini. Perempuan muda ini pasti Nurul, batinnya. Terakhir kali bertemu, Nurul masih berusia lima tahun. Nurul lalu berjalan ke belakang dan terdengar ia memanggil-manggil seseorang.
Tak lama kemudian terdengar suara engsel pintu dibuka. Lalu pintu kayu bercat kuning kusam itu terbuka. Seorang perempuan usia 50 tahunan berdiri di depannya. Perempuan itu tampak kaget tapi kemudian ia berusaha mengendalikan emosinya.

Baca Juga :   Karena Corona Bukan Sekadar Deret Angka

Ia merasa mengenali lelaki kurus berkumis putih di hadapannya. Kemudian ia melihat bekas jahitan di dagu lelaki itu. Benar! Ia mengenali lelaki itu.
Tanpa berbicara Sulistyowati menggeret Inor masuk ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu, tempat di mana dulu lamaran Inor ditolak 3 kali.
Sekarang di ruang tamu itu terpajang foto-foto keluarga. Termasuk foto Sulistyowati beserta suami dan anaknya.

Dua orang itu saling diam beberapa saat. Beku.
“Suamimu ke mana?” Inor memecah kebekuan.
“Ngajar,” jawab Sulistyowati singkat. Wajahnya menunduk. “Silakan diminum,” Sulistyowati mengeluarkan air putih kemasan dari kardus di bawah meja.
“Sisa-sisa kecantikanmu masih ada,” kata Inor.
Sulistyowati diam. Beberapa saat kemudian baru menyahut. “Jangan lama-lama di sini. Sebentar lagi suamiku datang.”
“Tidak. Tidak lama-lama. Aku hanya ingin memberikan ini,” Inor membuka tasnya lalu menyerahkan bungkusan berisi kebaya. Warnanya kumal. “Kau ingat kan? Dulu aku janji membelikanmu kebaya. Dan aku ke sini hanya untuk menepati janjiku.”

Baca Juga :   Berani "Speak Up", Berantas Pelecehan Seksual!

“Omong-omong apa suamimu tahu? Tentang anak kita,” imbuh Inor.
“Tidak. Dan tidak akan pernah tahu,” Sulistyowati menggeleng. Matanya seolah menunjukkan penyesalan yang dalam.
“Syukurlah. Dia sudah besar ya, Sul,” Inor melihat foto anak perempuan berdiri di atas egrang. Sepertinya di sebuah acara festival kesenian. “Pasti itu dia ya? Cantik seperti kamu,” tambahnya sambil menunjuk foto itu, lalu terkekeh.