Memperpanjang “jam tayang” swalayan bukan merupakan solusi, karena yang dibutuhkan lebih pada memperbaiki sebelumnya.
Oleh Maya Rahmah
GAMBAR warga yang berdesakan di swalayan Lumajang membuat hati saya teriris. Apalagi gambar ini ikut nyempil di hastag trending pertama Twitter #IndonesiaTerserah.
Sudah sepasrah ini sekarang warganet. Sepasrah itu dengan sikap sesama warganya termasuk kebijakan pemerintah. Wabil-khusus terkait kebijakan Pemkab yang berencana memperpanjang jam operasional swalayan di Lumajang. Solusi yang solutif? Jelas tidak.
Menghabiskan hampir seumur hidup saya di Lumajang, saya tahu kalau setiap lebaran swalayan di Lumajang pasti disesaki pengunjung. Baik itu pagi, siang, sore, bahkan saat orang-orang tarawih yakni malam hari.
Saat pandemi ini, kebijakan untuk membuka swalayan hanya sampai pukul 16.00 WIB. Saya sangat mengapresiasi hal tersebut. Sampai Pemkab Lumajang berinisiatif untuk perpanjang operasional kembali.
Tatkala melonggarkan waktu untuk berbelanja masih sebatas wacana, saya sudah membatin tidak setuju. Sangat tidak setuju. Eh, akhirnya tetap diputus juga. Jadi kecewa dengan sikap pemerintah, yang sekilas justru menunjukkan kebijakan bimbang, kebijakan setengah-setengah.
Swalayan memang harus menerapkan standar menghadapi Covid-19 untuk pencegahan penyebarannya. Tapi permintaan terapkan protokol kesehatan itu apa bisa terlaksana? Sepertinya susah untuk dapat jaminan.
Saya tahu persis, swalayan tersebut sudah hampir menerapkan seluruh protokol pencegahan Covid-19. Mulai dari menyediakan wastafel, pengukuran suhu tubuh pengunjung, penyemprotan hand sanitizer, hingga seluruh karyawan dan pengunjung harus memakai masker. Mereka juga membatasi jarak antar pengunjung di kasir dengan memberikan selotip antrean. Secara teori, semua sudah diterapkan.
Tapi faktanya, penerapannya masih bocor, setidaknya terlihat di antrean kasir.
Okelah, sekarang kita coba lagi membahas soal kebijakan longgarkan jam buka swalayan. Quote simpelnya:
Gimana kalau pengunjung tetap membludak?
Siasatnya seperti apa?
Sehingga, sudah tepat kah melonggarkan atau perpanjang waktu operasional toko?
Saya kira belum tepat sama sekali. Meski Pemkab Lumajang praktikkan kebijakan dengan menempatkan petugas tambahan di swalayan-swalayan sekalipun, warga membludak kemungkinan besar tetap terjadi.
Setidaknya ada 2 cara yang bisa saya sarankan untuk Pemkab Lumajang.
Pertama, dengan mengelompokkan warga-warga yang belanja, berdasarkan kecamatannya. Misal, hari ini kesempatan untuk warga Kecamatan Lumajang dan Candipuro untuk berbelanja. Di mana saja asal dari 2 Kecamatan tersebut.
Cara ini bisa ampuh sekaligus mempermudah tracing oleh Pemkab jika sewaktu-waktu ada yang positif Covid-19. Meski nauzubillah ya. Tapi akhirnya bisa terlacak riwayatnya. Oh ternyata warga ini positif setelah berbelanja di supermarket A, misalnya.
Ribet? Ya kalau nggak mau ribet, jangan bernegara. Negara itu pasti harus melewati fase keribetan.
Cara kedua, yakni dengan menerapkan sistem kuota belanja. Misal di salah satu supermarket, kapasitas orang bisa masuk tanpa bersesakan sekitar 100 orang. Berarti hanya ada 100 orang yang masuk ke supermarket tersebut. Jika ada satu orang keluar, baru, satu orang lainnya masuk. Begitu terus setiap waktu. Cara ini sudah diterapkan di salah satu supermarket di Tangsel, dan sejauh ini berhasil.
Harapannya, warga yang ke supermarket memang benar-benar mau berbelanja kebutuhan, bukan untuk cuci mata.
Lepas apa yang diungkapkan, semua tahu antrean bisa bikin warga jadi tak sabaran, gara-garanya bisa bosan atau hal lainnya. Jadi kalau tidak penting-penting amat, keinginan belanja bisa ditahan dulu. Begitu.
Saya berharap Pemkab Lumajang bisa me-review kebijakannya kali ini.
Sayang sekali. Upaya pengetatan yang selama ini diterapkan, terpaksa tercabut dan seakan tak memiliki ketegasan.
Memperpanjang waktu membuka toko memang di-jangka waktu hingga hari raya tiba. Namun, sikap melemah pemerintah, dengan dalih saat ini adalah musim (baca: tradisi) belanja hadapi hari raya, patut disayangkan.
Sepertinya Pemkab Lumajang, sebelumnya merasa kecolongan dengan membludaknya orang yang belanja seperti pada foto yang ikutan trending waktu itu.
Hanya saja, mungkin hanya menegaskan lagi, memperpanjang “jam tayang” swalayan bukan merupakan solusi, karena yang dibutuhkan lebih pada memperbaiki sistemnya menjadi lebih baik, bukan malah melonggarkan.
Kebijakan pembatasan ini terbilang keras. Tapi untuk menyadarkan warga, PemkabĀ musti tunjukkan ketegasan, walaupun pemerintah pusat mulai lembek. Jadi ya mau gimana lagi. Karena kalau Pemkab malah melempem, terus siapa yang menjadi teladan warga?
(*)
.
.
.
.