Membangun Etika Intelektual Dosen Terhadap Mahasiswa

6822
“…bahwa dosen predator dalam konteks pemerolehan hibah adalah dosen yang dengan sengaja meminta mahasiswa untuk menulis di bawah tekanan dan merampas karya tulis tersebut dengan aku karya…”

Oleh: Barotun Mabaroh, SS, M.Pd *)

DOSEN sesuai amanah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 merupakan seseorang yang wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Dosen mengemban tugas untuk mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk melaksanakan amanah undang-undang ini, negara juga turut memberi dukungan dengan memberikan beragam program Hibah baik untuk pelaksanaan proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Seluruh program hibah yang disponsori Negara ini memberikan dana operasional untuk pembelajaran, penelitian, dan pengabdian dengan nominal terendah Rp15 juta dan maksimalnya mencapai Rp1 milyar.

Baca Juga :   Khofifah: SPP Siswa SMA/SMK Negeri di Jatim Gratis

Para dosen yang mendapatkan hibah ini tentu akan dituntut menghasilkan luaran yang accessible baik berupa buku, artikel, rekayasa teknologi, dan bentuk inovasi lainnya dengan novelty yang tinggi. Dengan menunaikan tuntutan hibah tersebut, awardee dosen juga akan menduduki rating yang baik pada Science and Technology Index (SINTA) yang merupakan portal pengukuran kinerja Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dikembangkan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Dengan grant tersebut, seluruh dosen dari Sabang sampai Merauke berlomba-lomba untuk mengirimkan proposal terbaiknya pada setiap kali periode penerimaan proposal hibah.

Namun, penulis menemukan banyak masalah di balik layar dalam proses awal, submit proposal, hingga pelaporan hasil hibah tersebut.

Baca Juga :   Belajar Tatap Muka 100% di Kota Pasuruan Dimulai Akhir Januari

Masalah utama dalam proses pengajuan dan pelaksanaan Hibah tersebut adalah aksi predatory. Fakta dalam tulisan ini mungkin akan sangat memukul sebagian sejawat dosen, akan tetapi ini hendaknya dapat menjadi pengingat bahwa sebagai pendidik semua dosen berkewajiban untuk turut membangun mental dan karakter yang baik bagi mahasiswa.

Selama ini, label predator untuk beberapa kasus dosen hanya merujuk pada aspek pelecehan seksual terhadap mahasiswa /i saja. Misalnya, sedikit mereview kejadian yang trending di tahun 2019, sebuah petisi menuntut untuk menonaktifkan dosen predator di perguruan tinggi di JawaTimur yang diduga telah melakukan pelecehan seksual kepada beberapa mahasiswi.

Juga di bulan Agustus tahun 2020, Polrestabes Palembang harus menangkap dosen predator dengan kasus telah melakukan sodomi terhadap tiga bocah. Terlepas dari batasan predator dalam konteks seksualitas, penulis di sini memaknai lain yaitu bahwa dosen predator dalam konteks pemerolehan hibah adalah dosen yang dengan sengaja meminta mahasiswa untuk menulis di bawah tekanan dan merampas karya tulis tersebut dengan aku karya.

Baca Juga :   Sinau Bareng, Program Pemkab Lumajang Izinkan Belajar Tatap Muka di Sekolah

Kasus “dengan sengaja meminta mahasiswa untuk menulis di bawah tekanan dan merampas karya tulis tersebut dengan aku karya” dalam konteks pemerolehan hibah umumnya dilakukan oleh oknum dosen pada saat pengajuan proposal.

Namun, berdasarkan wawancara penulis, sebagian responden mahasiswa juga menuturkan bahwa mereka juga dituntut untuk memenuhi tagihan luaran hibah yang diperoleh dosen.

Dengan demikian, maka label predator ini layak disematkan pada dosen yang dianggap bereputasi tersebut karena sesungguhnya ia telah melemahkan dan menghancurkan kekuatan intelektual mahasiswa demi keuntungannya sendiri.