Namun, bukankah mahasiswa juga mendapatkan fee dari bekerja memenuhi aksi predatoris dosen ini?
Sebanyak 40% mahasiswa menjawab iya, tetapi 60% menjawab tidak. Saat dikonfirmasi tentang kisaran fee yang didapat, sebagian besar mahasiswa mengaku dalam kisaran Rp500 ribu hingga Rp2 juta saja.
Akan tetapi, mereka mengklaim bahwa nominal tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan beban kerja yang harus dipenuhi. Sehingga tidak jarang mahasiswa lebih merasa menjadi korban intelektual dan dirugikan.
Selain itu, aksi predatoris oknum dosen ini juga kerap membuat mahasiswa kecewa dan menyesal tapi mereka tidak memiliki keberanian untuk menolak karena rasa takut dan khawatir yang tinggi akan pengaruhnya terhadap capaian akademik dan juga peluang beasiswa.
Dari fakta ini, kita sebagai dosen wajib merubah sikap predatoris dengan memperbaiki etika dalam melibatkan mahasiswa pada kegiatan tri dharma perguruan tinggi, khususnya dalam konteks pemerolehan hibah.
Hal pertama yang bisa dilakukan adalah memperlakukan mahasiswa sebagai partner pengusulan/pelaksanaan hibah dan kemudian membangun komunikasi dua arah tentang beban, penghargaan, dan atau kompensasi yang akan diperoleh mahasiswa dengan keterlibatannya dalam pengusulan/ pelaksanaan hibah.
Dengan mengimplementasikan etika ini akan menepis stereotip bahwa dosen berhak memaksa dan adidaya atas mahasiswa serta dapat memberikan kesan dan pengalaman yang berharga bagi mereka. (*)
*Penulis merupakan Dosen Universitas PGRI Wiranegara