Menyambangi Sentra Kuliner Bangkodir yang Hidup Segan Mati pun Tak Mau

4465

 

Digagas untuk memecah keramaian di tengah kota Bangil, kondisi sentra kuliner Bangkodir, kian memprihatinkan. Seperti ungkapan hidup segan mati pun tak mau.

Oleh: Miftahul Ulum

BISING suara kendaraan di Jalur Pantura, Kelurahan Pogar, Kecamatan Bangil terdengar berlalu lalang, Senin (31/08/2020). Saat itu, jam menunjuk pukul 08. 30.

Meski relatif pagi, cuaca terasa cukup terik. Kondisi itu memaksa seorang sopir beserta kenek truk beristirahat di sentra kuliner Bangkodir, yang memang berada di pinggir jalan raya setempat.

Dua gelas minuman dingin dipesannya. Tak lama setelah minuman yang dimintanya jadi, segera diteguknya.

Pagi itu, suasana di kawasan sentra kuliner Bangkodir itu terlihat lengang. Tidak banyak kios pedagang yang buka. Begitu juga dengan pelanggan. Hanya ada sopir dan keneknya tadi.

“Sepi Mas. Tidak banyak yang buka,” kata Buchori, salah satu pedagang kepada WartaBromo.com di lokasi.

Baca Juga :   Bangkitkan Ekonomi Desa, OJK Dorong Penguatan BUMDes

Setra kuliner yang dibangun sekitar tujuh tahun lalu sebenarnya memiliki 28 kios. Saat media ini kesana pada Minggu-Senin (30-31/08/2020) lalu, hanya 7 kios yang buka.

Buchori sendiri tercatat sudah 7 tahun ini berjualan di sentra kuliner Bangkodir. Sebelumnya, warga Kedungboto, Kecamatan Beji ini berdagang di Alun-alun Bangil.

“Karena ada tawaran, saya memutuskan pindah disini,” jelas pedagang 56 tahun ini.

Setahun pertama, kios diberikan cuma-cuma alias gratis. Karena itu, banyak PKL lain yang kemudian berebut untuk bisa mendapatkan kios.

Tapi, itu tak lama. Karena pada tahun kedua, ia ditarik Rp 3, 5 juta untuk biaya sewa selama setahun.

Bagi para pedagang, jumlah itu kelewat mahal. Apalagi, kondisinya relatif sepi. Mereka yang keberatan dengan biaya sewa kemudian memilih pindah.

Pada akhirnya, dari 28 kios yang ada, hanya 7 kios yang masih bertahan. “Yang tidak terlalu laris daganganya ya memilih tidak berjualan lagi,” ujar Buchori.

Baca Juga :   Belajar Ber-Bhinneka ke Balun, Desa Pancasila di Lamongan

Pandemi yang terjadi belakangan menambah beban para pedagang. Sebagian dari mereka memilih tak berdagang karena sepi dan hanya membersihkan kios.

Buchori mengungkapkan, selama pandemi, pendapata yang diperolehnya tak lebih dari Rp 50 ribu.

“Itu pun penghasilan kotor yang langsung dibuat membeli token listrik, atau beli beras” terangnya. Bahkan, pernah suatu ketika listrik disana padam karena tak mampu beli token.

Dulu, sebelum pandemi, ia dan pedagang lain yang tersisa berinisiatif mengumpulkan iuran untuk membeli token dan juga biaya perawatan.

Tapi, setelah pandemi, penarikan iuran itu tidak lagi. “Dihentikan karena memang tidak ada pemasukan sama sekali,” ujar Buchori.

Kini, kabar baiknya, sudah semingguan ini kondisi mulai normal. Penghasilan Buchori pun berangsur membaik. Yang sebelumnya tak sampai Rp 50 ribu, kadang bisa tembus Rp 100 ribu.

Baca Juga :   Menyambangi Museum Pasuruan; Sebuah Kritik

Tak Dapat Bantuan Covid-19

Melalui WartaBromo.com, Buchori pun berharap dinas terkait memberi sedikit perhatian. “Sesekali coba datang biar tahu kondisi kami seperti apa. Syukur-syukur ada bantuan,” ujarnya.

Buchori mengaku, selama pandemi ini belum pernah mendapat bantuan apapun. Padahal, menurut yang ia dengar, pemerintah akan memberikan insentif bagi pelaku UKM terdampak pandemi.

Kesan tidak pedulinya dinas terkait tercermin pada penataan kios. Menurut Buchori, para pedagang yang berjualan di Bangkodir harus menyajikan menu berbeda.

Sehingga pedagang bisa bersaing secara sehat. Kedua, menu yang disediakan maksimal 4 macam. Dan ketiga, harga yang bersaing.

Sayangnya, karena tidak ada pengawasan dari dinas terkait, banyak pedagang yang melanggar aturan dengan menyajikan menu yang sama dengan pedagang lain.