Geliat Ekonomi di Tengah Pandemi

1890

 

Sempat drop, roda ekonomi Jawa Timur (Jatim) mulai kembali naik. Sektor-sektor yang sebelumnya ‘mati suri’ akibat pandemi kini kembali menggeliat.

Oleh: Asad Asnawi

SYAI’IN terlihat bersemangat. Bersama petani yang lain, ia sibuk memanen ubi madu yang memang menjadi andalan Desa Pasrujambe, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tengah Oktober lalu.

Bukan hanya hasil panenan yang melimpah. Saat komoditas lain terpuruk diterjang badai Covid-19, ubi madu yang merupakan produk khas lereng Gunung Semeru tetap diburu di pasaran.

Tidak mengherankan bila harganya relatif bertahan, Rp 2 ribu setiap kilonya. “Saya biasanya sampai 25 ton satu hektarenya,” ujar Syaiin (47).

Situasi itu membuat pengaruh pandemi tak begitu berdampak bagi mereka. Apalagi, dengan hasil segitu, Rp 50 juta pun terlihat nyata di depan mata.

Syaiin sendiri bukanlah satu-satunya petani yang mendalkan hidupnya dari bertani ubi jalar. Setidaknya, ada ribuan petani yang mengandalkan penghasilannya dari ubi ini.

Baca Juga :   Mengunjungi Taman "Bunga Abadi" Edelweiss di Tosari

Memasuki musim panen raya seperti ini, lereng gunung di Pasrujambe pun penuh oleh petani. “Total untul satu kecamatan sekitar 600 hektare,” terang Wakil Bupati Lumajang, Indah Amparwati, Wabup Lumajang.

Usai turun langsung melihat panen raya oleh petani, Indah pun yakin dengan prospek ubi madu. Apalagi, beberapa negara di Asia Tengah sudah menjadi pasar tetap. Bahkan, pandemi yang terjadi tak memengaruhi jadwal pengiriman ekspor.

Indah berharap, potensi ubi madu Semeru tidak hanya mengangkat ekonomi warga setempat. Tetapi, juga menjadi sumber pangan alternatif di tengah pandemi sekarang ini.

Di sisi lain, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur (Jatim) yang dirilis Agustus lalu, pertanian menjadi salah satu sektor yang mampu bertahan di tengah hempasan pandemi.

Baca Juga :   Jutaan Anak Terancam Malnutrisi Akibat Pandemi

Sektor pertanian, sesuai data BPS berhasil mencatatkan pertumbuhan 7, 14 persen. Menempati urutan ketiga setelah sektor kesehatan (8, 95 persen) dan telekomunikasi (10, 39 persen).

Secara umum, berdasar data yang sama, pertumbuhan ekonomi Jatim per triwulan II tahun ini terkontraksi minus 5, 90 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (Y-o-Y).

Kendati demikian, bila bandingkan provinsi lain di Pulau Jawa, angka tersebut merupakan yang terendah. Provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan kontraksi paling tinggi, 8, 22 persen.

Disusul Banten 7, 40 persen; Yogyakarta 6, 74 persen; Jawa Barat 5, 98 persen; Jawa Tengah 5, 94 persen; dan Jawa Timur 5, 90 persen.

Provinsi di ujung timur Pulau Jawa ini pun memberi kontribusi 24, 93 persen terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa setelah Jakarta (29, 33 persen). Dan, nasional 14, 60 persen.

Baca Juga :   Menyambangi Museum Pasuruan; Sebuah Kritik

Pelonggaran PSBB oleh pemerintah juga berdampak positif terhadap aktivitas ekspor Jatim. Bahkan, angkanya mencatatkan yang tertinggi sejak terjadi pandemi.

BPS mencatat, pada September lalu, aktivitas ekspor Jatim naik 0, 21 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (Y o Y). Bahkan, bila dibandingkan dengan bulan Agustus sebelumnya, mencapai 11, 14 persen.

Data BPS Jatim yang menyebut peningkatan ekspor pertanian hingga 24, 42 persen di bulan September dibanding bulan Agustus.

Sejauh ini sektor non migas, salah satunya pertanian masih mendominasi kegiatan ekspor dengan nilai mencapai US$ 1,527 juta. Sedangkan migas, sebesar US$ 68, 89 juta di periode yang sama.

Meningkatnya ekspor non migas lebih banyak ditopang sektor pertanian. BPS mencatat, ekspor pertanian pada September naik signifikan dibanding bulan sebelumnya. Dari 4, 08 persen menjadi 24, 43 persen. Angka itu bahkan melewati capaian periode yang sama tahun lalu di angka 17, 56 persen.