Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (4-Habis)

8218

“Jadi di pedoman ini, semua yang berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup, itu harus menggunakan pedoman ini. Karena potensi kerugian saja itu sudah bisa diproses di pengadilan. Dan kenyataannya, majelis hakim memperlakukan gugatan yang kami ajukan laiknya gugatan umum biasa, padahal seharusnya pedoman ini yang dipakai,” terang Aziz.

Karena itu, Aziz pun menilai telah terjadi kesalahan prosedur dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara Nomor 4/Pdt.G/LH/2020/PN.Mjk itu. “Kami menilai ada kesalahan prosedur dilakukan oleh hakim. Seharusnya majelis hakim menggunakan pedoman tersebut, bukan mengabaikannya dan membuat alurnya sendiri,” lanjut Aziz.

Selain itu, majelis hakim juga disebutnya kurang menggunakan banyak undang-undang dalam menangani perkara ini. Padahal, dalam konteks perlindungan lingkungan, tidak harus menunggu munculnya dampak yang ditimbulkan akibat dari praktik pelanggaran lingkungan hidup.

Baca Juga :   DLH Pastikan Busa di Kaliputih Mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun

“Jadi tanpa melihat pencemaran itu sudah terjadi atau tidak, sebenarnya kasus ini sudah bisa bisa diproses. Bahwa potensi kerugian yang ditimbulkan itu seharusnya bisa dijerat. Dan ini yang tidak dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto,” jelas Aziz.

Hasil pengujian kandungan TDS (total dissolved soil) yang mencapai 2.290 ppm, jauh melebihi baku mutu. Foto: Mongabay.co.id

Pada akhirnya, upaya banding oleh warga juga kalah oleh pengdilan. Dan pemerintah, dinilai setengah hati dalam menangani persoalan lingkungan di Lakardowo. Ratusan warga yang mengalami sakit kulit saban tahun dianggap sebagai dampak kegiatan peternakan warga. Padahal, pada tahap tertentu, kulit menjadi bersisik.

Bagi PT. PRIA, putusan pengadilan yang mementahkan gugatan warga kian menegaskan tudingan pencemaran yang dilakukannya tidak terbukti. “Putusan dari pengadilan membuktikan bahwa tudingan pencemaran tidak terbukti benar dan asal-asalan,” terang Plant Manager PT PRIA, Mudjiono dalam rilis tertulisnya kepada media ini.

Baca Juga :   Pemkab Ngotot Lanjut, Dewan Minta Pipanisasi Limbah Dihentikan

Karena itu, Mudjiono pun menegaskan bahwa seluruh kegiatan PT PRIA dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangan. “Putusan pengadilan negeri Mojokerto telah diperkuat dengan putusan banding Nomor 440/PDT/2020/PT. SBY, yang menyatakan bahwa tuduhan warga atas pencemaran tidak terbukti,” tegasnya.

Di sisi lain, terlepas dari proses hukum yang memenangkan PT PRIA, ahli Teknik Lingkungan ITS, Marwadewanthi tetap mendesak pemerintah turun tangan menangani persoalan yang ada di Lakardowo. Ia mengatakan, banyaknya warga yang sakit hingga mencapai ratusan seharusnya cukup menjadi dasar pemerintah untuk melakukan kajian lebih jauh.

“Jika disimpulkan karena sanitasi, apakah betul. Kajian epidemologinya seperti apa. Kalau itu belum dilakukan, ya tidak bisa disimpulkan begitu saja. Karena bagaimanapun, sulit untuk meyakini aktivitas PT PRIA tidak membawa dampak terhadap lingkungan sekitar,” jelasnya.

Baca Juga :   Dinkes Duga Sampah Medis di Sungai Kedungrejo Dari Nakes Praktik Mandiri

Prigi Arisandi, direktur Ecoton mengatakan, secara umum, ada dua dugaan pelanggaran PT PRIA, selaku pengolah limbah B3 yang diabaikan pemerintah. Pertama, proses pengolahan limbah B3 yang tidak sesuai. Sebagian diantaranya terungkap dalam temuan tim audit. Kedua, kegiatan penimbunan hingga menimbulkan kerugian bagi warga sekitar.

“Sebelumnya warga masih bisa memanfaatkan air sumur untuk keperluan sehari-hari. Masak atau mandi. Tapi, sekarang tidak lagi. Untuk mandi anak-anak, warga memanfaatkan dari air tangki yang dibeli. Dan ingat, masih ada 49 rumah yang urukannya dari limbah B3 dan sampai saat ini belum dilakukan clean up,” jelas Prigi.