Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (4-Habis)

8220

Warga sejatinya tetap berharap puluhan rumah yang di dalamnya terdapat timbunan limbah itu juga dibongkar (clean up). Tetapi, keinginan tersebut seolah membentur dinding tebal. Pemerintah terkesan abai dan membiarkan material itu mengancam kesehatan warga. Begitu juga dengan PT PRIA.

Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) wilayah II M. Nur menyatakan, pihaknya terus mengikuti perkembangan terkait polemik yang terjadi di grup PT. PRIA. Termasuk, yang berkaitan dengan keberadaan PT GEI di Kemlagi, Mojokerto.

Terhadap perusahaan yang disebut terakhir ini, sebelumnya pihaknya juga sempat menurunkan tim ke lokasi terkait dengan praktik penimbunan limbah untuk tanggul Kali Marmoyo. Akan tetapi, berdasar laporan yang ia dapatkan, kasus tersebut sudah ditangani kepolisian. Dalam hal ini Polres Mojokerto.

“Tadinya memang sudah ada tim yang kami turunkan. Tapi, kan sudah di-police line. Jadi kan tidak boleh masuk,” ujar Nur ketika ditemui di kantornya di Jalan Juanda, Sidoarjo. Karena sudah ditangani penyidik dari satuan lain, Nur pun mengaku tidak bisa berbuat banyak. Sebab, baik Gakkum maupun kepolisian sama-sama memiliki kewenangan untuk menyidik.

Baca Juga :   DLH Pastikan Busa di Kaliputih Mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun

Nur yang sebelumnya menjabat sebagai kepala Gakkum di Makassar itu menyebutkan, penyegelan PT GEI oleh polisi, menguatkan adanya indikasi awal pelanggaran oleh perusahaan tersebut. Karena itu, seyogyanya itu ditindaklanjuti dengan memperosesnya sesuai ketentuan berlaku.

Ia menyatakan, ada tiga jeratan yang bisa diterapkan jika penyidik kepolisian menemukan bukti pelanggaran PT GEI. Selain perdata, perusahaan dimaksud juga bisa dimintai pertanggungjawaban secara administratif dan perdata. Bentuknya, dengan pengenaan denda. “Kalau hasil kajian ditemukan unsur pidananya, ya diproses. Begitu juga untuk unsur pelanggaaran administrasi atau perdatanya. Diproses secara bersamaan juga tidak masalah,” terang Nur.

Dijelaskan Nur, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan memang membuka ruang untuk proses ketiganya itu. Bedanya, untuk penanganan administrasi dan perdata, dilakukan dengan melibatkan mediator atau fasilitator. “Dan itu bisa melalui pengadilan maupun di luar pengadilan dengan melibatkan berbagai komponen, termasuk ahli,” kata Nur.

Baca Juga :   Pemkab Ngotot Lanjut, Dewan Minta Pipanisasi Limbah Dihentikan
Warga Lakardowo saat berunjuk rasa di depan PN Mojokerto. Foto: Mongabay.co.id.p

Secara teknis, ahli itu pula nantinya yang akan menghitung besaran kerugian sebagai akibat pelanggaran lingkungan oleh perusahaan dimaksud. “Misalnya, ada berapa jasa lingkungan yang hilang. Kemudian ditawarkan ke pelaku untuk biaya pemulihan dan ganti kerugian. Dan itu masuk ke kas negara,” jelas Nur.

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk PT. LAI. Menurut Nur, jika dua perusahaan milik Tulus Widodo itu belum memiliki izin, tersebut jelas sebagai pelanggaran. Karena itu, selain pidana, keduanya juga bisa dijerat pada pelanggaran administrasi, atau ke perdata. Ketiganya bisa dijalankan bersamaan.

Sepanjang tahun ini, total 300 kasus pelanggaran lingkungan masuk ke meja Gakkum II yang meliputi wilayah Jabalnusa (Jawa, Bali, Nua Tenggara). Beberapa diantaranya telah divonis kurungan penjara plus denda miliaran rupiah.

Baca Juga :   Dinkes Duga Sampah Medis di Sungai Kedungrejo Dari Nakes Praktik Mandiri

Pada akhirnya, sikap lunak aparat atas dugaan pelanggaran lingkungan oleh PT PRIA membuat publik kembali mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap perbaikan lingkungan. Belum lagi kehadiran PT. GEI dan PT LAI. Meski jelas belum mengantongi izin, dua perusahaan ini tetap melenggang tenang. (*)