Pohon Toleransi di Timur Jawa

1903

 

Laporan: Amal Taufik

PERISTIWA 10 tahun lalu itu masih lekat teringat di kepala Ireneus Sutrisno (55), Kepala Sekolah SD Katolik (SDK) Santo Yusuf, Desa Sukoreno, Kecamatan Umbulsari, Kabupaten Jember. Waktu itu ada lomba tartil Al Quran tingkat kecamatan. Semua sekolah, tak terkecuali SDK Santo Yusuf, mengirimkan siswanya untuk ikut.

Para juri mengetahui dan mengecek semua peserta lomba hanya berdasar nomor urut tanpa mengetahui nama siswa maupun asal lembaganya. Setelah semua peserta unjuk kebolehan, juri pun mendiskusikan siapa yang layak menyabet juara di perlombaan itu. Seorang siswa laki-laki bernama Makrubin Muqorubin akhirnya diputuskan meraih juara 1 pada perlombaan itu.

“Saya langsung terharu. Siswa saya yang menang. Panitia dan juri juga kaget, setelah ditelusuri asal lembaganya, ternyata pemenangnya dari SD Katolik,” kenang Ireneus saat ditemui WartaBromo, Sabtu (07/11/2020).

Di sekolah yang dipimpinnya itu, memang ada beragam murid dengan berbagai agama: Islam, Hindu, Katolik, Kristen, dan penganut aliran kepercayaan Sapta Darma. Pun demikian dengan guru-gurunya, juga penuh keberagaman.

Baca Juga :   Potret Lebaran Ketupat Masyarakat Pasuruan; dari Larung Saji hingga Menyucikan Diri di Banyubiru

Setiap Jumat, para siswa mendapat pelajaran agama sesuai keyakinannya masing-masing. Mereka dipisah-pisah setiap kelas. Yang beragama Islam bersama guru ngaji, yang beragama Katolik dengan guru Katolik, yang beragama Hindu dengan guru beragama Hindu, dan seterusnya.

“Di sekolah kami itu 80% siswanya malah beragama Islam. Yang Hindu 10%. Sisanya Katolik, Kristen, dan penghayat aliran kepercayaan Sapta Darma,” terang Ireneus. Keberagaman di SDK tersebut boleh dikatakan sebagai representasi keberagaman masyarakat Desa Sukoreno.

Desa yang kini dijuluki Desa Pancasila itu letaknya sekitar 44 kilometer dari Stasiun Jember atau bisa ditempuh dalam 1 jam perjalanan dari Stasiun Jember jika menggunakan sepeda motor. Empat agama, yakni Islam, Katolik, Hindu, dan aliran kepercayaan Sapta Darma, hidup harmoni di desa ini.

Baca Juga :   Menjaring Ilmu di Dermaga, Berekreasi Literasi

Ketika tiba di sana, WartaBromo didampingi oleh salah satu warga keturunan Tionghoa. Namanya Redi Saputro (28). Dengan menggunakan Honda Astrea Grand keluaran tahun 1991, ia mengajak berkeliling desa.

Sepeda motor kemudian berhenti di halaman sebuah rumah. Di bagian depan rumah itu, si empunya rumah membuka toko mungil yang menjual sembako. Seorang perempuan terlihat mengintip dari dalam lalu keluar mempersilahkan tamunya masuk.

“Ini Bu Wagima. Ketua perkumpulan ibu-ibu yang membuat keripik pisang lintas agama,” kata Redi sambil antusias memamerkan produk keripik pisangnya.

Wagima adalah penghayat aliran kepercayaan Sapta Darma. Di Sukoreno, penghayat aliran kepercayaan Sapta Darma adalah yang paling kecil. Nyoto (40), tokoh penghayat aliran Sapta Darma di Sukoreno menyebut komunitasnya di desa tidak sampai 100 orang.

Kendati demikian, ia tak pernah mendapat diskrimansi dalam bentuk apapun walaupun sebagai—apa yang acapkali disebut—“minoritas”. Di desa yang terletak di selatan Kabupaten Jember ini keberagaman menjadi realitas sehari-hari yang akrab, seperti manusia yang terbiasa melihat keragaman warna di sekitarnya.
Sekat-sekat eksklusif umat beragama luruh. Hubungan lintas agama terasa cair.

Baca Juga :   A Separation (2011): Lebih Dari Sekadar Drama Pegat

Nyoto bercerita, dalam setiap perayaan hari besar agama, semua terlibat dan merasakan kegembiraan. Ketika Idul Fitri, misalnya, baik umat Katolik, Hindu, penghayat aliran Sapta Darma ikut merayakan dengan membuka rumahnya dan menyediakan kue bagi siapapun yang mampir ke rumah mereka.

“Terbawa budaya Jawanya juga, Mas. Kalau Jawa itu kan bulan Sawal. Jadi Sawal itu bulan jawa yang mana di situ ada momentum tersendiri,” tutur Nyoto.
Tak hanya Idul Fitri, pada waktu Idul Adha pun semua boleh terlibat membantu mengurus kambing dan sapi kurban. Daging-daging kurban kemudian dibagikan merata kepada seluruh masyarakat.