Pohon Toleransi di Timur Jawa

1903

Warga lain, Sohib (58) menuturkan, bahwa toleransi di desanya telah menjadi kultur yang dipelihara turun-temurun, sehingga sampai sekarang hampir tidak ada warga yang alergi dengan perbedaan keyakinan. Ia sebagai umat muslim sering diundang ke rumah warga Katolik, Hindu, yang sedang merayakan hari besar dan ia datang. “Bukan ke gereja dan ikut ritual. Tapi diundang ke rumahnya setelah mereka selesai ritual di gereja,” ujar Sohib.

Beberapa warga di Desa Sukoreno, kata Sohib, ada yang 1 keluarga memeluk beragam agama. Ada suami seorang muslim, sedangkan istri seorang Katolik. Anak mereka, 2 Katolik dan 1 Islam. Selain itu, pemandangan seorang kakek dan nenek mengantar cucunya mengaji di TPQ, kemudian kakek dan nenek itu lanjut pergi ke pura untuk beribadah masih bisa dijumpai di desa ini.

Baca Juga :   Potret Lebaran Ketupat Masyarakat Pasuruan; dari Larung Saji hingga Menyucikan Diri di Banyubiru

Sohib lalu memberikan gambaran bagaimana masyarakat benar-benar merawat keberagaman itu. Ia menceritakan peristiwa beberapa tahun silam. Saat itu ada tetangganya yang beragama Hindu tengah menggelar hajatan. Ketika hendak menyembelih sapi, tetangganya itu tidak menyembelih sendiri, melainkan memanggil tukang jagal yang beragama Islam untuk mengeksekusi prosesi penyembelihan. “Sampai begitu, agar tamu-tamunya yang diundang, khususnya yang beragama Islam tidak ragu-ragu,” imbuh Sohib.

Kepala Desa Sukoreno, Achmad Choiri mengungkapkan, salah satu kunci menjaga dan merawat keberagaman di Sukorno ialah terus memelihara hubungan baik dengan semua tokoh agama. Segala kegiatan yang hendak dikerjakan desa harus melibatkan dan mengajak berembuk semua tokoh agama itu.

Desa dengan jumlah penduduk 8.438 jiwa itu memiliki event tahunan yang mampu menyedot perhatian ribuan warga Kabupaten Jember. Itu adalah perayaan Gerebek Suro dan Pawai Ogoh-Ogoh. Pawai Ogoh-Ogoh yang notabene adalah tradisi umat Hindu, di situ semua warga lintas agama terlibat membantu pelaksanaan pawainya. “Kalau Pawai Ogoh-Ogoh itu sudah menjadi event milik seluruh masyarakat Sukoreno,” ujar Choiri.

Baca Juga :   Menjaring Ilmu di Dermaga, Berekreasi Literasi

Bahkan, lanjut Choiri, pemerintah desa kini telah mengalokasikan APBDes untuk kegiatan perayaan hari besar masing-masing agama. Untuk perayaan hari besar umat Islam, desa mengalokasikan anggaran Rp5 juta, lalu untuk umat hari besar Hindu Rp1,5 juta, dan Katolik Rp1 juta.

Hari sudah sore, dan beberapa saat sebelum beranjak, sambil mengisap rokok kreteknya Choiri bercerita asal muasal nama Sukoreno. Diceritakannya, bahwa dulu desanya bernama Desa Gumuk Lengar. Suatu hari warga menemukan arca naga di bawah pohon suko. Menariknya, pohon itu memiliki bunga berwarna-warni yang, bagi Choiri, seakan menyiratkan keberagaman yang telah lahir, hidup, dan lestari di desanya sejak dahulu. Dari situ kemudian nama desa diganti dengan nama Desa Sukoreno.

Baca Juga :   A Separation (2011): Lebih Dari Sekadar Drama Pegat

“Kalau bahasa Jawa, suko itu kan suka, reno itu macam-macam. Jadi sukanya bermacam-macam. Suka keberagaman,” pungkas Choiri. (*)