Aib dan Nasib (2020): Orang Lapar Mudah Marah

1455

 

Oleh: Amal Taufik

AIB dan Nasib dibuka dengan peristiwa sakaratul maut Boled Boleng yang mirip ikan baru dientas dari kolam di bawah juntaian serabut akar pohon beringin. Peristiwa itu dituturkan dalam 2 paragraf, kemudian langsung melompat ke tokoh yang lain dengan cerita yang lain—cerita di luar terbunuhnya Boled Boleng.

Setelah melompat dalam 2 kali fragmen episodik, cerita barulah kembali ke kisah Boled Boleng. Begitulah cara Minanto, penulis novel ini, menyusun ceritanya. Ia memecah kisah hidup masing-masing tokoh dalam fragmen-fragmen episodik dengan alur maju mundur.

Jika tak terbiasa membaca novel dengan susunan semacam ini, mungkin di awal akan kebingungan, apalagi jumlah tokohnya yang cukup banyak. Namun ketika mulai masuk pertengahan bab pertama, setelah semua tokoh dikenalkan dengan keruwetan hidupnya masing-masing, membaca fragmen-fragmen cerita akan terasa menyenangkan.

Baca Juga :   Menyambangi Museum Pasuruan; Sebuah Kritik

Adalah sebuah desa bernama Desa Tegalurung yang menjadi latar novel ini. Selain Boled Boleng, di desa ini hidup pula Marlina, Nurumubin, Gulabia, Kartono, Bagong Badrudin, Mang Sota, Uripah, Yuminah, Kaji Basuki, dan masih banyak lagi. Tidak semua tokoh itu saling berhubungan, namun semua memiliki peran dalam mengonstruksi bangunan cerita.

Tokoh-tokoh itu hanya disatukan oleh 1 kata: kemiskinan. Mungkin ungkapan “orang lapar mudah marah” ada benarnya. Sebabnya kegilaan dan kekacauan semua tokoh di novel ini hampir dilatarbelakangi karena perut yang lapar.

Marlina misalnya. Ia laki-laki putus sekolah dan bekerja sebagai kuli. Di rumahnya, Marlina memiliki kewajiban menghidupi bapaknya beserta 3 adik laki-lakinya. Bapaknya yang sudah tidak bekerja hampir setiap hari ngamuk-ngamuk. Bahkan saling mengumpat hingga saling ancam bacok antara bapak-anak ini digambarkan sering terjadi.

Baca Juga :   A Separation (2011): Lebih Dari Sekadar Drama Pegat

Hal yang sama terjadi pada tokoh tukang becak bernama Mang Sota. Tokoh ini menurut saya malah lebih tragis. Ia seperti ketiban sial bertubi-tubi dan nyaris tak memiliki semangat hidup. Setelah istrinya mati, anak perempuannya—yang tampaknya juga agak sinting—diperkosa, hamil, melahirkan, lalu cucunya itu mati, dan terakhir rumahnya digusur.

Isu pernikahan dini pun juga tak luput dari catatan Minanto. Kisah Gulabia, gadis SMP yang dihamili temannya, tetapi malah menikah dengan sopir angkot—yang juga pernah bersetubuh dengannya—tak kalah menarik. Bahkan Minanto secara gamblang menggambarkan adegan BDSM yang dialami Gulabia dari suaminya.

Minanto, saya pikir, sangat menguasai tema yang ditulisnya seakan-akan seluruh fragmen-fragmen peristiwa itu jadi konsumsinya sehari-hari selama bertahun-tahun. Caranya berkisah dengan mengeksplorasi permasalahan di desa membantah habis-habisan label desa yang dianggap suatu tempat yang lestari, damai, tenteram, atau apapun yang sering dilabelkan pada desa

Baca Juga :   Mengunjungi Taman "Bunga Abadi" Edelweiss di Tosari

Bahkan, desa dalam novel ini rasanya seperti desa yang tidak terjamah negara. Di dalamnya seperti tak ada polisi, tentara, atau perangkat hukum lainnya yang bertugas mengurus dan melindungi masyarakat. Negara absen dalam urusan-urusan yang dialami semua tokoh.

Para tokoh dalam novel, dengan daya dan kemampuannya sendiri, jatuh bangun hingga keinginan saling membunuh demi berjuang mengatasi keruwetan hidupnya masing-masing. Pemerkosaan, KDRT, penganiayaan, ditampilkan secara terang benderang dan Minanto menuliskannya tanpa tendensi apapun.

Perlu diketahui, novel ini memenangi juara pertama gelaran Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019. Sebenarnya, secara tema, Minanto tidak mengangkat tema baru. Mengungkap kehidupan masyarakat desa secara telanjang bulat mengingatkan saya pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan karya-karya Mahfud Ikhwan.