Selain sebagai tanah kelahiran, alasan warga enggan untuk pindah karena di atas tanah ini pula warga menggantungkan hidup. Daripada harus bekerja di kota yang sudah padat, mereka memilih hidup nyaman dengan memelihara ternak atau menanam sayuran.
Bila duit menipis, Hartono cukup mengandalkan singkong yang ia tanam di belakang rumahnya. Jika sedang butuh uang besar, ternak-ternak itu bisa diandalkan untuk menambal kebutuhan tersebut. Hartono sendiri memiliki 5 sapi di belakang rumahnya.
“Nah itu, bagaimana merelokasi sapi-sapinya? Apakah tempat relokasi nanti bisa seperti di sini? Kalau di pemukiman padat penduduk, siapa yang mau bau sapi?” ungkapnya sembari berkelakar.
Penuturan yang sama juga disampaikan Harti (42), warga yang lain. Senada dengan Hartono, perempuan paro baya ini juga menolak untuk direlokasi.
Rumah Harti hanya berjarak sekitar 30 meter dari tebing sedalam 50 meter bekas tambang.
“Pokok e tidak mau Mas, orang tua sudah lama juga di sini, bahkan sebelum banyak berdiri rumah. Dulu ketika saya kecil, hanya rumah ini, dan tetangga sebelah,” kata Harti.
Anak-anak Harti juga mencari pencaharian sebagai petani di sekitaran rumah. Ia mengaku sudah nyaman tinggal di sana meskipun kondisi sekitar rumahnya cukup riskan untuk ditinggali.
“Listrik sudah ada, jalan paving sudah bagus, air juga sudah ada, sudah enak tinggal di sini,” imbuhnya.
Harti mengisahkan, dulu saat tambang masih beroperasi warga sekitar kecipratan debu tambang. Dari sana, warga mendapat kompensasi berupa “uang debu” istilah yang Harti sebut.
“Dapat uang debu, tapi kalau debunya keterlaluan, warga megadu agar debunya tidak terlalu banyak,” ungkapnya.
Ketika ditanya sewaktu-waktu risiko longsor yang mengintai keselamatan, Harti mengaku pasrah dengan keadaan. Ia beralasan, kontur tanah yang ia tinggali tidak mudah longsor yang cenderung keras. Tidak seperti tanah gembur yang mudah longsor.
“Semoga saja tidak, kalau longsor ya sudah takdir. Yang penting kami masih nyaman tinggal di sini, tidak mau pindah,” pungkasnya.
Apa yang dikisahkan Hartono dan Harti hanyalah contoh kecil. Tetapi, penuturannya menggambarkan bahwa lambannya penegakan hukum pada akhirnya menjadikan masyarakat kecil jadi korban. Sudah terdampak tambang ilegal, akankah mereka juga ‘terusir’ dari tanah kelahiran?. (asd)