Vila-vila Mewah Penunggak Pajak

3121

Samingun, kepala Subdirektorat Potensi Perpajakan mengatakan, pajak hotel dan restoran berbeda dengan objek pajak yang lain. Pasalnya, pajak keduanya pada prinsipnya telah dibayar oleh konsumen.

“Tamu atau konsumen restoran itu kan sudah bayar pajak yang dihimpun pengelola hotel dan restoran. Ketika sudah dibayar oleh konsumen, tapi tidak disetor, maka itu termasuk pengemplangan,” katanya saat dihubungi via aplikasi percakapan.

Nah, pada komponen pajak hotel, vila dan penginapan tahun 2019 lalu, pajak yang belum dibayarkan mencapai Rp 211, 3 juta. Naik dari sebelumnya sebesar Rp 52 juta.

Peningkatan juga terjadi pada pajak restoran/rumah makan. Dari Rp. 47, 6 juta pada 2018, naik menjadi Rp. 417, 2 juta di 2019 lalu. Ini berarti hampir setengah miliar pajak restoran yang telah dibayarkan konsumen, tidak sampai ke kas daerah!

Di sisi lain, tingginya piutang pajak yang belum dibayar memunculkan dugaan adanya praktik fraud (kecurangan).Terlebih lagi, sebagian piutang tercatat sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Baca Juga :   Jejak Sejarah Bencana Pasuruan di Era Kolonial

Dugaan itu mencuat menyusul keberadaan regulasi yang mengatur masa kedaluarsa piutang. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 19 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Daerah.

Salah satu poin yang diatur dalam regulasi ini adalah hilangnya hak tagih Pemkab terhadap piutang di atas umur lima tahun. Dengan demikian, piutang yang lebih dari lima tahun, dengan sendirinya terhapus karena hilangnya hak tagih oleh Pemda.

“Inilah yang menjadi celah terjadinya fraud karena bisa saja wajib pajak sengaja mengulur untuk tidak membayar, toh lima tahun kemudian piutang itu bisa dihapus,” kata Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) Atha Nursasi.

Selain itu, kehadiran regulasi itu juga membuka celah terjadinya kongkalikong antara wajib pajak dengan aparat penagih. Modusnya, dengan memperpanjang umur piutang hingga batas kedaluarsa tadi.

Baca Juga :   Finna Golf Tunggak Pajak hingga Rp 5,5 Miliar

“Masalahnya, publik tidak pernah tahu mana wajib pajak yang tidak mampu membayar atau yang sekadar memanfaatkan celah dengan mengulur pembayaran,” jelas Atha.

BPK sendiri dalam LHP yang diserahkan Juni lalu, menyebut adanya potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 947, 6 juta lebih. Angka itu merupakan potensi pendapatan pajak non PBB yang kehilangan hak tagihnya karena kedaluarsa (lebih lima tahun umur piutang).

“Pemerintah yang harus lebih maksimal melakukan penagihan. Bahkan jika perlu, lakukan upaya paksa,” terangnya saat dihubungi melalui aplikasi percakapan.

Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Bangil, Deny Saputra sebelumnya menyebut, selama ini, sanksi terhadap penunggak pajak memang lebih banyak pada pengenaan denda dan administrasi.

“Tapi jika teguran atau peringatan diabaikan oleh wajib pajak, bisa saja menjurus ke pidana,” ujarnya.

Baca Juga :   Dari Rumah di Kota Pasuruan Ini, PBNU Pernah Kendalikan Organisasi dan Kobarkan Semangat Revolusi

Direktur Pusat Studi Advokasi Kebijakan (Pus@ka) Lujeng Sudarto mendorong Pemkab Pasuruan memperbaiki mekanisne pembayaran pajak di wilayahnya. Salah satunya dengan menerapkan e-billing.

“Mau tidak mau ini harus dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran. Karena dengan penarikan secara manual, mudah sekali untuk dimainkan,” katanya.

Sekretaris Daerah Kabupaten Pasuruan, Anang Saiful Wijaya tak mengelak adanya wajib pajak yang nakal dan berusaha menghindari kewajibannya membayar pajak.

“Beberapa kasus sempat kami temukan wajib pajak yang sengaja merusakkan perangkat e-billing agar tidak termonitor,” katanya. Terkait hal itu, pihaknya pun telah memberikan sanksi administratif berupa teguran.

Khusus beberapa wajib pajak yang banyak memilili tunggakan, pihaknya terus berupaya melakukan penagihan. “Terus kami lakukan. Sebisa mungkin kami selesaikan secara baik-baik. Kalau pun memang diperlukan, ya akan kami libatkan aparat penegak hukum,” ujar Anang. (*)