Pemulihan Ekonomi di Tengah Gelombang Ketiga Covid-19

1541
Perhatian besar hingga saat ini adalah mengatasi pemulihan ekonomi dengan tetap memperhatikan penurunan kasus Covid-19 hingga titik yang paling rendah. 


Oleh: Sri Kadarwati, S.Si.MT – Ka BPS Kota Pasuruan

TERBENTUKNYA gelombang ketiga Covid-19 di suatu wilayah ditunjukkan dengan adanya kondisi kenaikan kasus virus corona secara signifikan pada periode tertentu. Apakah di Indonesia sudah terancam mengalami pandemi Covid-19 gelombang ketiga seperti halnya yang dikhawatirkan prediksi moderat sebelumnya?

Hal ini terkonfirmasi dari angka-angka yang ditunjukkan dalam trend grafik perilaku harian manusia Indonesia dan kasus Covid-19 sampai dengan periode 16 Juni 2021 yang diterbitkan oleh humas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Selama tahun 2021, titik terendah dialami pada  17 Mei 2021 dengan kasus baru Covid-19 di Indonesia sebanyak 4.295 dan rata-rata 7 hari sebesar 3.639.

Namun kemudian mengalami peningkatan yang luar biasa pada 13 Juni 2021, yaitu sebanyak 9.868 orang tertular Covid-19 dalam sehari. Sehingga pada 16 Juni 2021 kasusnya naik menjadi 1.937.652 dengan kasus baru 9.444 dan rata-rata 7 hari sebanyak 8.340.

Diduga penyebab utamanya adalah arus balik lebaran 2021 yang menandai terbentuknya gelombang ketiga, ditambah dengan even liburan pada tanggal merah jelang akhir Mei 2021 dan awal Juni 2021 beberapa waktu lalu, yang banyak dimanfaatkan masyarakat untuk mudik lebaran yang tertunda atau mengadakan helatan/pesta acara pernikahan, acara halal bi halal atau sejenisnya yang mengundang terjadinya kerumunan.

Adanya peningkatan kasus Covid-19 atau munculnya indikasi gelombang Ketiga Covid-19 di Indonesia tentunya akan mempengaruhi kembali gerak pertumbuhan ekonomi menuju kestabilan yang mapan.

Baca Juga :   Persekap Cukur Asifa Malang 7-0 dalam Liga 3 Jatim

Karena pengambilan kebijakan terkait pembatasan pergerakan orang, tidak menutup kemungkinan akan dilakukan kembali jika penambahan kasus Covid-19 pada gelombang ketiga semakin memburuk.

Kita ketahui bersama bahwa sampai dengan triwulan pertama 2021, angka pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik hasilnya masih minus 0,74 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020 yang mencapai 2,97 persen.

Masih negatifnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak lepas dari dampak negative Covid-19 yang menyebabkan pergerakan orang dan barang sehingga turut menghambat produksi dan distribusi dunia usaha.

Dari sisi produksi, penurunan disebabkan oleh kontraksi yang terjadi pada beberapa lapangan usaha. Dari sisi pengeluaran, penurunan disebabkan oleh kontraksi pada seluruh komponen pengeluaran.

Oleh karena itu pemulihan ekonomi tentunya menjadi tema utama pemerintah pada tahun 2021 – 2022, yaitu dengan terus menerus secara konsisten memberikan dukungan dan penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat dan insentif kepada pelaku usaha kecil, menengah, hingga besar.

Upaya pemulihan ekonomi tentunya menjadi salah satu pertimbangan bagi Pemerintah untuk menyiapkan kerangka kebijakan terkait perpajakan yaitu diantaranya usulan perubahan pengaturan PPN, sehingga dapat memulihkan ekonomi akibat pandemi.

Menurut penjelasan Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak,  poin-poin penting usulan perubahan pengaturan PPN di antaranya adalah pengurangan berbagai fasilitas PPN karena dinilai tidak tepat sasaran dan untuk mengurangi distorsi; penerapan multitarif, dengan mengenakan tarif PPN yang lebih rendah daripada tarif umum.

Baca Juga :   Wow, Komet Ini Melintas di Langit Pasuruan

Misalnya atas barang-barang yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah; dan tarif PPN yang lebih tinggi daripada tarif umum untuk barang-barang yang tergolong mewah yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi.

Bahkan untuk jenis barang tertentu akan dikenai PPN Final untuk tujuan kesederhanaan dan kemudahan. Namun demikian proses kerangka kebijakan tersebut tentunya masih panjang karena perlu adanya pembahasan lebih detail bersama DPR, dengan mendengarkan masukan dari berbagai pihak.

Hal ini menjadi penting mengingat target utama yang harus dicapai adalah pemulihan ekonomi tahun 2021 mencapai angka positif. Oleh karena itu tiga hal yang harus dipertimbangkan

Pemerintah bersama DPR dan Pengamat Ekonomi dan Kesehatan adalah mengenai timing-nya, fondasinya, serta obyek yang pantas dikenakan pajak. Data mengenai penerimaan pajak pada akhir tahun 2020 menunjukkan adanya kontraksi sebesar 19,7 persen dibandingkan tahun 2019, yaitu dengan realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.070 triliun.

Pencapaian penerimaan pajak pada tahun lalu pun, hanya mampu memenuhi 89,3% dari target penerimaan pajak yang dipatok sebesar Rp 1.198,8 triliun sebagaimana tercantum dalam peraturan presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 terkait postur APBN tahun anggaran 2020.

Baca Juga :   Tak Tahan Diisolasi, 1 Pasien PDP Ngamuk dan Paksa Pulang

Berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah untuk mengatasi pemulihan ekonomi secara parallel dengan mengatasi permasalahan Covid-19, sehingga Pemerintah dapat memberikan dukungan berupa bantuan bagi masyarakat dan pelaku usaha secara berkesinambungan.

Oleh karena itu kerangka kebijakan yang akan diambil Pemerintah harus hati-hati agar tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar yaitu kestabilan negara dan politik di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum pulih. Perhatian besar hingga saat ini adalah mengatasi pemulihan ekonomi dengan tetap memperhatikan penurunan kasus Covid-19 hingga titik yang paling rendah.

Hasil survei BPS tahun 2020 menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kepatuhan protocol kesehatan masih sekitar 60 – 80 persen dari total penduduk Indonesia. Jika tingkat kepatuhan penduduk bisa mencapai 95 persen, maka peluang musnah Covid-19 pada akhir 2021 di Indonesia menjadi lebih besar.

Diperlukan dukungan yang besar dari semua elemen bangsa sehingga masyarakat memiliki kemauan keras dan istikomah dalam mematuhi protokol kesehatan dimanapun berada serta adanya langkah tegas dari Pemerintah pada semua lapisan wilayah untuk menindak tegas secara hukum kepada setiap pelanggar protokol kesehatan setidaknya hingga akhir 2021.

Penanganan kesehatan yang baik dengan fasilitas yang lengkap, belum tentu mampu menopang perkembangan kasus jika tidak disertai dengan kepatuhan protocol kesehatan. (*)