Seragam Baru dan Belajar di Rumah

1007
Bagaimana mungkin peserta didik baru saling mengenal sementara bertemu saja tidak bisa?

Oleh: Muh. Husen Arifin*

PEMBELAJARAN tahun akademik baru akan segera dimulai di tengah pandemi covid-19. Semangat peserta didik di tingkat PAUD hingga SMA jelas berbeda dibandingkan tahun sebelum terjadinya pandemi ini.

Rumah kini menjadi ruang yang kompleks. Dimulai dari ruang tidur, ruang makan, ruang santai, dan ruang belajar sebagai pengganti dari sekolah. Bahkan narasi sekolah menjadi bias ketika dihadapkan pada kondisi itu.

Terlebih karena sekolah bukan lagi bangunan dengan ciri-ciri kursi dan meja untuk peserta didik yang berderet dan menghadap ke papan tulis, sedangkan meja dan kursi guru menghadap ke arah peserta didik.

Sekolah yang dijaga oleh satpam, sejumlah guru memiliki ruangan tersendiri, ruang perpustakaan, musala, dan kamar mandi, bahkan ada kantin yang selalu didatangi oleh peserta didik seusai pembelajaran pertama. 

Baca Juga :   Capaian Tingkat Pendidikan Formal di Indonesia

Diskusi di ruang bernama kelas tidak terjadi lagi. Jarak yang sangat jauh antar peserta didik menimbulkan anti sosial. Sementara sosialisasi merupakan pola hidup manusia. 

Dampak dari pandemi covid-19 sangat jelas di bidang pendidikan. Terutama untuk peserta didik yang seharusnya belajar dalam bersosialisasi pun sudah tidak memungkinkan.

Polemiknya adalah peserta didik baru belum tahu lokasi sekolahnya, bahkan belum pernah memasuki kamar mandinya, juga belum pernah duduk di kursi yang diidam-idamkannya, atau juga belum pernah berbelanja makanan ringan dari uang saku yang didapatkannya dari orangtua. 

Hubungan antara peserta didik baru pun tetap tidak bisa terjalin karena komunikasi tatap muka ditiadakan.

Bagaimana mungkin peserta didik baru saling mengenal sementara bertemu saja tidak bisa?

Kemudian tentang seragam sekolah yang seharusnya menjadi pakaian belajar resmi sebagai tanda bahwa seseorang disebut terpelajar. Dalam tanda tersebut menjadi satu keniscayaan bahwa pelajar adalah seseorang yang memakai baju seragam sesuai tingkatan sekolahnya. 

Baca Juga :   Sekolah Tatap Muka Diperbolehkan, Khusus Zona Hijau dan Kuning

Berlandaskan konsep karakter yaitu moral knowing, moral feeling, moral action. Berseragam menjadi penciri betapa peserta didik memiliki identitas dan etika. Identitas dan etika harus dimiliki keduanya. Identitas di dalamnya berseragam, dan etika menandakan tentang akhlaknya sehari-hari. 

Lantas bagaimana jika berseragam di rumah? Dalam perspektif situasi sosial, ada tiga elemen yakni tempat, pelaku, dan aktivitas (Afriyeni, 2018). Walaupun tidak di sekolah, namun berseragam bagi peserta didik tetap berlaku di dalam pembelajaran daring. Oleh karena itu, tiga elemen dalam situasi sosial dapat menjawabnya. 

Bukan berarti seragam selalu diidentikkan sebagai yang terpelajar. Berseragam justru lebih disimbolkan sebagai seseorang yang beretika.

Di lingkungan rumahnya, etika menjadi primadona. Maka peserta didik yang baik adalah beretika dengan baik dan tidak merugikan siapapun. Ketika berseragam, maka kehati-hatian dalam berucap dan berperilaku sebagai prinsip dalam bersosialisasinya. 

Baca Juga :   Seperempat Miliar Anak-anak di Dunia Tak Mengenyam Pendidikan

Seragam sekolah bercirikan dalam penguatan karakter termasuk dalam nilai-nilai tanggung jawab, gotong royong, dan kerja keras. Dengan berseragam, maka peserta didik dapat melakukan aktivitasnya dengan benar. 

Di tengah pandemi covid-19 yang belum selesai, antara belajar di rumah dan pembelajaran daring, maka peserta didik tetap bisa berseragam, sebagaimana hari-hari biasa di sekolah.

Makna dari berseragam lebih eksklusif, sebab berseragam bukan hanya di sekolah. Berseragam lebih nyaman dengan aktivitas di rumah. Mengenali konteks tentang bersosialisasi di rumah. Seragam tidak akan terlepas, dan ada waktu lebih lama dibandingkan di sekolah.