“Derik”, Sebuah Pameran Karya Seni dan Dekonstruksi Sakralitas

1508

“Dia ini tukang taman dan hanya lulusan SMP. Karyanya menjadi karya terbaik untuk pendatang baru,” ujar Badrie.

Kemudian yang kedua adalah karya instalasi berjudul “Komoditi Jimat”. Karya ini sangat menarik. Akbar membuat banyak kertas berisikan kata-kata, gambar, simbol, yang identik dengan sesuatu yang biasa disebut jimat atau sikep atau ‘pelindung’ atau apapun. Yang menarik, di karya instalasinya, ‘jimat-jimat’ itu oleh Akbar dibungkus dalam plastik rentengan atau lebih tampak seperti ‘jimat’ dalam sachet.

Jimat, di kalangan masyarakat dipahami sebagai sesuatu yang sakral yang biasanya berisi doa-doa khusus yang dipercaya bisa ‘mendampingi’ pemiliknya. Namun pada karya “Komoditi Jimat”, pemahaman itu hendak didekonstruksi. Jimat hari ini tak lagi sakral seperti itu. Ia dengan mudah dimiliki, dijual belikan, bahkan diecer di warung seperti shampoo, kopi, dan stiker.

Baca Juga :   Terdampak Pandemi, Manajer Mall di Bali Ini Bangkit berkat "Djajan Ndeso"

Menurut Badrie, karya-karya milik Akbar dan Ghufron itu adalah hasil dari dialektika yang dilakukan selama proses seleksi. Badrie menganggap, proses dialektika itu sangat diperlukan supaya seniman, khususnya seniman di Pasuruan, tidak tertinggal dari daerah lain serta bisa memperkaya referensi karya bagi para seniman.

Ia membuka diri bagi seniman-seniman lain yang ada di Pasuruan jika ingin bergabung, berproses, dan berpartisipasi dalam pameran-pameran Derik selanjutnya. Selain itu, lanjut Badrie, pihaknya juga berharap ada dialektika yang terjadi antara karya dengan publik.

“Kita pingin menggesek publik, biar publik terdorong belajar apresiasi. Karena tanpa apresiasi dari publik, kita tidak ada artinya. Kita harus berjalan bersama,” tutup Badrie. (asd)