Arianto Nugroho, Perajin Sepatu Berbahan Kain Sutra yang Ramah Lingkungan

370
Aryanto Nugroho memintal benang dari ulat sutra. Foto: Amal Taufik.

Oleh: Amal Taufik

TANGAN Nuryadi terlihat lincah memintal benang dari kepompong ulat sutra yang baru selesai dikeringkan. Matanya fokus.

Tepat di depannya, tumpukan rak yang berisi ulat sutra dan kepompong. Beberapa kepompong masih terlihat menempel di sudut-sudut rak.

Nuryadi adalah seorang penyandang disabilitas. Sehari-hari ia bisa memintal kiloan kepompong. Ia menyebut, 10 kilogram kepompong jika dipintal, menghasilkan gelondongan benang seberat 8 ons.

Usai dipintal, gelondongan benang itu selanjutnya dipindahkan ke alat tenun manual untuk dijadikan kain sebagai bahan dasar sepatu.

Suasana seperti itulah yang terlihat di halaman belakang rumah Arianto Nugroho (47) pada Sabtu (04/02/2023). Sejak tahun 2016 , halaman belakang rumah yang berada di Desa Sentul, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan itu, selain dipakai untuk menanam sejumlah jenis tanaman, juga dijadikan tempat budidaya ulat hingga produksi kain sutra.

Anto—sapaan akrabnya—bercerita, tidak pernah terbesit dalam pikirannya menekuni budidaya ulat sutra. Bertahun-tahun ia menjadi petani lobak di lereng Gunung Arjuno sebelum kemudian nasib apes menimpanya. Pada tahun 2014, kebakaran cukup besar terjadi di kawasan Gunung Arjuno.

“Lobak yang mau saya panen ini terkena panas api. Akhirnya gagal panen. Pada waktu itu modal benar-benar habis. Pusing betul waktu itu,” kata Anto.

Tak ingin terus-terusan memikirkan musibah yang menimpanya, Anto mengalihkan perhatiannya dengan bergabung di komunitas mobil off road. Salah seorang temannya di komunitas itu kemudian menawarinya kesempatan budidaya ulat sutra. Anto pun langsung mengiyakan. Ia diberi telur ulat sebagai bakal bibit dan daun singkong untuk pakan.

Si teman mengatakan, jika Anto berhasil, akan ada fasilitator dari Taiwan yang akan me-mentorinya budidaya ulat sutra.

Gayung bersambut, Anto berhasil. Benar saja, seorang fasilitator dari Taiwan datang ke rumahnya. Secara intens, Anto
diajari bagaimana cara-cara budidaya ulat sutra yang tepat.

Mentoring itu, sayangnya, tidak berlangsung sampai tuntas. Si fasilitator terburu dicurigai kantor imigrasi. Ternyata visa yang ia kantongi adalah visa belajar, sementara aktivitasnya di Indonesia tidak benar-benar belajar.

Pihak imigrasi saat itu datang ke rumah Anto dan marah-marah. Anto berterus terang bahwa dirinya memang benar-benar tidak tahu apa-apa. Ia hanya tahu bahwa warga negara Taiwan itu mengajari dirinya cara budidaya ulat sutra.

“Saya tidak tahu apa-apa. Apalagi ternyata ada regulasi yang melarang mengirim bahan baku ke luar negeri. Saya terus terang tidak tahu,” kenangnya.

Mentoring yang belum tuntas itu menyisakan banyak kepompong di rumahnya. Anto tidak tahu mau diapakan kepompong-kepompong tersebut. Riset secara mandiri dilakukan, percobaan demi percobaan, hingga pada tahun 2016 ia berhasil membuat kain sutra dan selendang. Di tahun itu juga ia mendirikan Koperasi Karya Usaha Petani Unggul (Kupu) Sutra.

Beberapa produk sepatu berbahan ulat sutra.

Produk sepatu sutra baru pertama digarap pada tahun 2020 berbarengan dengan datangnya pandemi corona. Pasar yang disasar Anto adalah anak muda.

Menurut dia, kain sutra selama ini selalu identik dengan fashion orang tua seperti dibuat selendang, batik, dan sarung. Ia memutar otak bagaimana agar kain sutra bisa masuk ke pasar anak muda.

Akhirnya dibuatlah sepatu. Produk itu rupanya diminati pasar. Sepasang sepatu sutra dibanderol dengan harga variatif. Mulai ratusan ribu hingga jutaan.

Dari produknya itu, Anto berkesempatan hadir dan memamerkan berbagai karya berbahan sutranya di rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali pada bulan November tahun 2022 kemarin.

Dalam proses pembuatan sepatu, Anto mengajak penyandang disabilitas ikut terlibat. Ia percaya penyandang disabilitas memiliki potensi sebagaimana manusia pada umumnya. Mereka diajari memintal, menenun, mewarna, hingga membatik. Kini ada 30 penyandang disabilitas yang diberdayakan di Kupu Sutra.

“Ada penyandang disabilitas, buruh tani, dan ibu-ibu PKK. Tapi prioritas kami di penyandang disabilitas. Karena mereka ini kan kelompok rentan,” katanya.

Ia menjelaskan proses pembuatan kain sutra membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bermula dari kepompong ulat sutra yang berusia 7 hari, kemudian pupa yang ada di dalam dikeluarkan. Lapisan pelindung atau kulit kepompong itu selanjutnya direbus lalu dikeringkan selama 3 sampai 4 hari. Barulah setelah itu dipintal lalu ditenun hingga menjadi kain sutra.

Pupa yang dikeluarkan tadi, jika dibiarkan akan menjadi kupu-kupu. Tetapi, oleh Anto, pupa-pupa tersebut biasanya dijadikan pakan ternak atau bahkan kadang-kadang dikonsumsi sendiri mengingat kandungan proteinnya yang tinggi. Sementara air bekas rebusan kulit kepompong, menurut Anto, biasanya dibikin sabun dan lotion atau air pembersih.

“Jadi zero waste. Tidak ada limbah. Tidak ada sampah. Semua terpakai,” imbuhnya.

Proses produksi sepatunya pun juga tidak sebentar. Untuk membuat sepasang sepatu, butuh waktu setidaknya dua pekan, mulai desain, pembuatan kain, pewarnaan, hingga pemasangan sol.

Anto mengaku memiliki visi produknya harus ramah lingkungan. Misalnya di pewarnaan sepatu. Warna-warna yang menghiasi sepatu sutra miliknya, semua dihasilkan dari pewarna alam. Sebut saja warna biru dari daun indigofera. Warna kuning dari daun tegeran. Warna merah dari kayu secang.

Tak jarang ia harus melayani permintaan warna khusus dari konsumen yang belum ia temukan. Pernah ada konsumen memesan khusus warna hitam. Anto pun bereksperimen dengan mencampur berbagai pewarna alam yang mungkin bisa menghasilkan warna hitam. Eksperimen itu akhirnya berhasil setelah memakan waktu dua bulan.

“Kalau kirim juga. Misalnya ke Boyolali. Saya maunya sekalian dalam jumlah banyak, dinaikkan kereta. Agar mengurangi emisi udara. Kita tidak mau mengotori dan semua dapat. Profit, teman-teman dapat, ekonomi meningkat, lingkungan oke,” ujarnya.

Pupa Ulat Sutra Diwacanakan Menjadi Fortifikasi Pangan untuk Mencegah Stunting

Apa yang dilakukan Anto mendapat respon dari Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Andri Wahyudi. Pada akhir Januari lalu, Andri mendatangi Kantor BRIN Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, untuk mendiskusikan pengembangan budidaya ulat sutra di Pasuruan.

Andri mengatakan, budidaya ulat sutra, jika dilakukan, bisa menjangkau dua hal sekaligus. Yang pertama adalah peningkatan ekonomi. Yang kedua adalah pencegahan stunting. Budidaya bisa diajarkan kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk peningkatan ekonomi, sementara produk sampingannya, yaitu pupa ulat sutra, bisa digunakan untuk fortifikasi pangan.

“Apabila program ini dijalankan, maka pemberdayaan bisa dapat. Stunting juga terselesaikan. Nanti saya akan ajak semua stakeholder untuk mendiskusikan ini,” ujar Andri.

Peneliti BRIN, Nurindah memaparkan, dalam industri sutra, memang hanya lapisan pelindung atau kulit kepompong yang dimanfaatkan. Kulit kepompong itu nantinya akan diproses lalu dipintal hingga menjadi benang sutra, sementara pupa atau bakal kupu-kupu yang ada di dalamnya tidak dipakai.

Pupa, ternyata bisa diolah menjadi pangan. Bahkan sudah ada riset yang menyebutkan bahwa kandungan protein dalam pupa sangat tinggi, yakni 71,93 persen. Nurindah mengungkapkan, pupa bisa diolah menjadi tepung, namun sifatnya berbeda dengan tepung terigu atau tepung-tepung lainnya. Tepung pupa bisa digunakan sebagai fortifikasi pangan.

“Dia jadi bahan tambahan. Misalnya kue atau biskuit itu kan bahan dasarnya tepung gandum. Proteinnya kurang. Bisa ditambah tepung pupa. Meningkatkan nilai gizi,” kata Nurindah. (asd)