Belakangan, saya tidak tahu kemana perginya forum madakno karep tersebut. Padahal forum dialog publik seperti itu menurut saya sangat penting bagi kepala daerah untuk melakukan identifikasi masalah sebelum merumuskan kebijakan.
Oleh: Amal Taufik
Saya menemuinya di Alun-Alun Kota Pasuruan pada Senin tengah malam. Ia kawan saya dari Jember. Malam itu, ia bersama rombongan baru selesai berziarah ke makam KH Abdul Hamid dan hendak meneruskan perjalanan ke Sidoarjo.
“Bagus ya sekarang alun-alunmu. Ada payungnya,” ujarnya.
“Ya, sebentar lagi kabarnya juga ada masjid mirip di Mekah,” kata saya.
“Tinggal ditambah tempat lempar jumroh.”
“Di sini tidak ada setan,” jawab saya.
Dia hanya tertawa.
Entah saya tidak tahu apa yang dia maksud tentang lempar jumroh. Mungkin dia melihat banyak setan bergelantungan di Kota Pasuruan dan menilai kita perlu melempari mereka dengan batu neraka yang dibawa burung ababil.
Cerita di atas adalah peristiwa yang saya alami beberapa waktu lalu. Beberapa teman saya dari luar kota lainnya juga pernah bertanya tentang payung hidrolis atau yang biasa kita sebut payung madinah itu. Sebagus apa payung madinah? Jam berapa payung mengembang? Selain ke payung madinah, bisa ke mana lagi? Rupanya, enam bangunan payung di depan Masjid Agung Al Anwar itu memang cukup ikonik.
Wali Kota Pasuruan, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), sejak dilantik pada tahun 2021 lalu langsung tancap gas mewujudkan visi-misinya ketika kampanye, yakni menjadikan Kota Pasuruan sebagai Kota Madinah. Madinah sendiri merupakan akronim dari maju ekonominya, indah kotanya, harmoni warganya. Bukan literally Kota Madinah di dataran Arab Saudi.
Satu tahun menjabat, Gus Ipul merealisasikan gagasannya untuk merevitalisasi kawasan alun-alun. Ia membeberkan konsep bertajuk “wisata religi terintegrasi”. Pembangunan yang digarap akan bertumpu pada potensi wisata religi yang dimiliki Kota Pasuruan.
Too much priority is not priority. Gus Ipul rupanya paham kuotasi itu. Prioritas pembangunan Kota Pasuruan banyak berfokus untuk mengembangkan urban tourism. Wajah kota dirombak. Payung madinah dibangun. Taman alun-alun dipercantik.
Berbagai event hiburan digelar. Bahkan tahun depan, Kota Pasuruan juga akan menjadi tuan rumah gelaran MTQ se-Jawa Timur.
Lalu, sejauh ini, bagaimana dampak pembangunan itu? Perekonomian Kota Pasuruan diklaim meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pasuruan mencatat perekonomian Kota Pasuruan sempat lumpuh dihantam pandemi Covid-19. Namun sejak tahun 2021, menurut BPS, pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren peningkatan. Terakhir, pada tahun 2022, BPS menyebut perekonomian Kota Pasuruan melesat naik 6,22 persen.
Tantangan dan Masalah Kebijakan di Kawasan Alun-Alun
Kecuali payung madinah yang beberapa kali bermasalah dan kerap jadi sorotan, pembangunan fisik di kawasan alun-alun tampaknya tak banyak mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Pemkot justru menghadapi kendala saat hendak menata pedagang kaki lima (PKL) dan area parkir agar alun-alun tidak semrawut.
Pemkot memiliki regulasi yang mengatur tentang PKL yaitu Peraturan Wali Kota Pasuruan (Perwali) Nomor 62 Tahun 2022 Tentang Penataan Kawasan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam perwali tersebut disebutkan tujuh lokasi berjualan PKL di Kota Pasuruan. Kawasan alun-alun tidak termasuk dalam tujuh lokasi tersebut.
Regulasi yang mengatur PKL di kawasan alun-alun baru terbit pada bulan Desember tahun 2022 kemarin yakni Instruksi Wali Kota Pasuruan Nomor 1738 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di Kota Pasuruan. Instruksi wali kota itu hanya berisikan beberapa poin yang tidak boleh dilakukan oleh PKL di kawasan alun-alun.
Ini berarti pemkot belum memiliki regulasi yang komperehensif yang mengatur tentang penataan PKL di alun-alun. Kepala Bidang Pengelolaan Pasar pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pasuruan, Slamet Riyadi menyebut, perubahan perwali yang mengatur tentang PKL saat ini masih diproses. Perubahannya, kata Slamet, menambahkan kawasan alun-alun sebagai lokasi berjualan PKL.
Memang hingga saat ini pemkot belum menemukan formulasi kebijakan yang tepat untuk mengelola dua hal tersebut. Terakhir, pada bulan Maret kemarin, pemkot hendak mengatur lokasi berjualan PKL dan area parkir. Ya, kita tahu, niat tersebut berujung pada protes PKL kepada Gus Ipul di alun-alun. Tak hanya PKL, beberapa pemilik toko di kawasan alun-alun juga turut melayangkan protes.
Kita bisa bertanya, mengapa itu bisa terjadi? Bagaimana sosialisasi kebijakan penataan alun-alun yang dilakukan pemkot terhadap mereka yang terdampak? Apakah maksud dan tujuan pemkot tersampaikan dengan baik kepada mereka yang terdampak?
Jika kita melihat di luar konteks alun-alun, pemkot juga pernah diprotes keras oleh pedagang pasar soal kebijakan kenaikan retribusi. Apa masalahnya? Tidak ada sosialisasi. Tidak ada diskusi. Bahkan DPRD menilai kebijakan tersebut dibuat tanpa kajian. Peraturan langsung dibuat dan diimplementasikan. Tentu saja pedagang resisten. Apalagi kenaikan retribusi cukup besar, bahkan lebih dari 100 persen.
Berkaca dari hal tersebut di atas, apakah yang terjadi di alun-alun sama seperti yang terjadi di pasar? Jawabannya: mungkin demikian. Pemkot keliru jika percaya diri bahwa kebijakan yang dibuat, apalagi dengan sedikit partisipasi publik, bisa sekonyong-konyong diterima sasaran kebijakan tersebut.
Secara teori, Agustino (2022) mengelompokkan pendekatan implementasi kebijakan publik menjadi tiga. Pertama, pendekatan top down. Kedua, pendekatan bottom up. Ketiga, pendekatan yang menggabungkan dua pendekatan itu atau biasa disebut hybrid theories.
Dalam konteks kebijakan penataan alun-alun, pendekatan implementasi yang dipilih pemkot bersifat top down. Pendekatan ini menekankan pada aktor pembuat peraturan (pemerintah) dan hukum. Pendekatan top down abai terhadap aspek sosial politik. Pendekatan semacam ini, jika begitu saja diadopsi dalam menata PKL dan minim sosialisasi, tentu akan menuai resistensi.
Kita mungkin bisa belajar dari best practice penataan PKL di kawasan Malioboro, Yogyakarta pada tahun 2022 kemarin. Rencana Pemkot Yogyakarta untuk merelokasi PKL di kawasan Malioboro sudah disosialisasikan sejak tahun 2015. Pada tahun 2021, Pemkot Yogyakarta mengundang PKL untuk menyampaikan agenda relokasi. Baru pada tahun 2022 PKL di kawasan Malioboro direlokasi.
Dari sini kita tahu, ada ruang dialog yang dibuka dalam rentang waktu yang lama sebelum kebijakan penataan PKL Malioboro akhirnya diimplementasikan. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan, apa yang dilakukan di Malioboro bisa dilakukan di Kota Pasuruan. Tentu, kompleksitas situasi PKL di Malioboro dengan PKL di kawasan Alun-Alun Kota Pasuruan berbeda. Aspek sosial dan kultural di dua daerah ini pun juga sangat berbeda.
Selain itu, kita juga tidak berharap menata PKL alun-alun membutuhkan waktu selama tujuh kali lebaran seperti di Malioboro. Yang saya tangkap dari best practice di Yogyakarta adalah bagaimana proses dialog mampu menemukan rumusan kesepahaman yang disepakati antara pemerintah dengan PKL.
Sebenarnya dulu, ketika awal-awal menjabat wali kota, Gus Ipul rutin berkeliling tiap-tiap kelurahan untuk menggelar forum bersama warga dengan maksud madakno karep. Forum madakno karep juga pernah dilakukan Gus Ipul beberapa kali dengan pedagang pasar di Kota Pasuruan. Dalam setiap forum, Gus Ipul mendengar dan mencatat semua keluhan warga terkait layanan pemerintah hingga masalah infrastruktur.
Belakangan, saya tidak tahu kemana perginya forum madakno karep tersebut. Padahal forum dialog publik seperti itu menurut saya sangat penting bagi kepala daerah untuk melakukan identifikasi masalah sebelum merumuskan kebijakan. Bagaimanapun, tujuan kebijakan dibuat adalah untuk menyelesaikan masalah yang ada. Selain itu, forum tersebut juga dapat digunakan untuk menyampaikan program-program pemkot.
Dari beberapa hal di atas, saya menyimpulkan, permasalahan penataan kawasan alun-alun adalah minimnya komunikasi antara pemkot sebagai pembuat kebijakan dengan PKL atau kelompok sasaran lainnya. Selain itu, partisipasi pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan juga masih kurang. (Bersambung)