Susur Kampung Bangilan: dari Bangunan Tua hingga Asal Muasal Sate Komoh

1630

Oleh: Amal Taufik

MERUJUK pada website Kelurahan Bangilan, wilayah Bangilan memiliki luas 17 hektare. Ia melingkar mulai Jalan R.A. Kartini ke utara menuju Jalan Dewi Sartika, lalu ke barat Jalan Soekarno Hatta sampai Toko Roti Orion, lalu ke selatan hingga Jalan Alun-Alun Utara meliputi Kantor Pos Indonesia dan Pendopo Nyawiji Ngesthi Wenganing Gusthi.

Saya, ketika ke sana pada Rabu (01/11/2023), memilih lewat Jalan Dewi Sartika lalu masuk ke dalam gang di depan Kantor Legiun Veteran Kota Pasuruan. Saya tiba di sana pukul 09.00 WIB. Jam-jam orang bekerja dan anak-anak sekolah. Langit sudah terik. Aktivitas domestik tak begitu terlihat di kampung.

Tak sampai 50 meter ketika saya berjalan ke arah utara, terdapat simpang empat dan tepat di pojok barat simpang empat, berdiri sebuah bangunan tua kosong dua lantai. Dindingnya berwarna putih agak kusam. Pintunya berwarna hijau menghadap tenggara.

“Itu dulu toko kelontong milik orang Cina. Sekarang sudah dibeli orang, tapi kosong,” kata Abdul Rohman, warga setempat sekaligus Ketua Pokdarwis Kelurahan Bangilan.

Jalan paving di kampung Maman—sapaan akrab Abdul Rohman—lebarnya antara 1,9 meter hingga 2 meter. Cukup untuk papasan dua sepeda motor. Dari gang tempat saya masuk, jika belok ke kiri bisa tembus ke arah kantor Pegadaian Pasuruan dan jika belok ke kanan bisa tembus ke pusat produksi Kopi Sepoor Kaspandi.

Bangilan, kata Maman dibagi menjadi empat wilayah. Pertama wilayah yang disebut Kristalan, yakni di sebelah barat. Kedua, wilayah Gaden yakni yang berada di sekitar kantor Pegadaian Pasuruan. Ketiga, wilayah Patok yakni mulai SMPN 3 Pasuruan hingga Jamu Kere. Keempat, wilayah Kapuran yakni di wilayah Jalan Dewi Sartika arah ke gedung BCA lama.

“Patok itu karena dulu di sana banyak orang jual patok. Kalau kapuran, karena di sekitar situ dulu banyak kapur,” ujarnya.

Di kampung ini, rumah-rumah penduduk banyak bergaya mirip arsitektur era kolonial dengan dinding temboknya yang relatif tebal. Maman mengatakan, sebagian rumah masih dihuni keluarga pemilik aslinya, sebagian lagi sudah dijual kepada orang lain.

Beberapa rumah yang kami lewati bahkan terlihat masih mempertahankan keotentikan bangunan: jendela, pintu, ubin, dinding. Nuansa kuno yang disuguhkan itu seakan menunjukkan banyak cerita yang tersimpan di balik  bangunan tersebut.

Bangunan-bangunan kuno seperti itu tidak hanya bisa ditemui di komplek perkampungan Bangilan. Jika Anda melintasi Jalan Raya Dewi Sartika yang menuju ke arah kantor Kelurahan Bangilan hingga Pegadaian Pasuruan, di sebelah utara jalan Anda bisa menyaksikan deretan rumah-rumah kuno berjajar.

Selain bangunan-bangunan kuno, pemandangan yang akrab ditemui di sekitar Bangilan adalah orang-orang yang duduk di atas trotoar dengan kotak kayu berisi timbangan. Biasanya pada bagian kacanya ditempel stiker bertuliskan ‘emas’. Mereka adalah makelar emas. Sejak saya kecil sampai sekarang, mereka ini masih eksis. Maman menyebut, sekitar 30 hingga 40 persen warga Bangilan menggeluti bisnis tersebut.

“Biasanya orang-orang yang mau jual cepat, ke mereka. Atau emas yang tidak ada suratnya atau kondisi emasnya sudah rusak dan lain sebagainya, itu jualnya ke mereka,” ujarnya.

Abdul Khalim, salah satu warga yang pernah menggeluti bisnis itu bercerita, risiko menjadi makelar emas adalah tidak mengetahui asal usul emas yang dibeli. Apalagi jika barang yang didapat tidak dilengkapi surat-surat resmi.

Ia mengenang, dulu sekitar tahun 70’-an atau 80’-an, saat ia masih aktif sebagai makelar emas, pernah ada salah satu temannya yang harus berurusan dengan polisi. Gara-garanya, si teman ini membeli emas yang ternyata barang curian.

“Tidak ada yang tahu. Teman saya juga tidak tahu kalau itu barang curian. Tahu-tahu didatangi polisi dibawa ke Polsek Purwodadi. Waktu itu kami ada organisasinya semacam persatuan makelar emas. Akhirnya dibantu lewat organisasi itu,” kenang Abdul Khalim.

Suasana perkampungan di Bangilan, Kota Pasuruan.

Asal Usul Nama Bangilan

Tidak ada yang tahu pasti darimana asal usul nama Bangilan. Maman mengaku, sejauh informasi dan cerita yang ia peroleh sampai saat ini, nama Bangilan muncul karena sebagian besar warga Bangilan leluhurnya adalah pendatang dari Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan.

“Saya pernah coba bertanya ke sejumlah warga sekitar. Memang benar leluhur mereka sebagian besar berasal dari Bangil,” katanya.

Zulkarnain (81), warga setempat punya cerita lain. Menurut dia, wilayah Bangilan yang strategis karena di pusat kota dan dekat dengan pasar, menjadi daya tarik orang-orang di luar Kota Pasuruan untuk berniaga di kawasan ini. Pada zaman dulu banyak orang-orang dari Bangil berdagang di wilayah Bangilan. Gang-gang di komplek perkampungan dijadikan pasar kecil.

Tetapi para pedagang dari Bangil tersebut tidak ada yang menetap di kampung Bangilan. Mereka hanya berdagang di sana, setelah selesai berdagang mereka pulang. Namun, Zulkarnain yang lahir pada tahun 1942 itu mengatakan, sejak kecil kampungnya sudah diberi nama Bangilan.

“Zaman itu orang-orang Bangil ke sini bawa perlengkapan seperti meja buat jualan. Selesai berdagang, mereka pulang. Tidak menetap. Saat itu nama wilayah sini sudah Bangilan,” ujar Zulkarnain.

Warga memasak sate komoh, salah satu kuliner khas Kota Pasuruan.

Sate Komoh dan Rawon Bangilan

Kota Pasuruan terkenal dengan kuliner rawon dan sate komoh. Ada beberapa depot rawon yang ikonik di Kota Pasuruan. Dua di antaranya adalah Depot Rawon Sederhana yang sekarang terletak di Jalan WR. Supratman, tepatnya di depan Puskesmas Kandangsapi. Kemudian Rawon Saminah yang berada di komplek Pasar Besar. Kedua depot itu lahir di Bangilan.

Suud (72), warga Bangilan yang juga masih keluarga dari pendiri Rawon Saminah bercerita, Rawon Saminah sejak tahun 1950-an sudah menetap di Pasar Besar dan selalu ramai. Saking ramainya, untuk kulakan daging sapi dan telur bebek, Suud harus jauh-jauh ke Malang. Itu karena jika kulakan di wilayah Pasuruan sendiri, khawatir pedagang lain tak kebagian daging. Sebab volume daging yang ia butuhkan sangat besar. Ia bahkan dalam satu hari pernah kulakan 3.000 butir telur bebek untuk dimasak menjadi telur bumbu bali.

“Tempat memasak dagingnya itu di dalam kenceng (wajan) berukuran sangat besar. Besarnya kira-kira tiga orang cukup masuk ke dalam wajan itu,” kata Suud.

Pegawai warung Rawon Saminah pada saat itu lumayan banyak, mulai bagian dapur hingga melayani pelanggan di warung. Suud mengungkapkan, sejak berdiri Rawon Saminah sudah memproduksi sate komoh. Bahkan ia mengaku pernah mendapat cerita bahwa yang pertama kali membuat sate komoh di Pasuruan adalah Rawon Saminah.

“Saya dapat cerita dari mbah saya, yang pertama bikin sate komoh itu Haji Saminah. Dulu ada juga yang cerita, sate komoh itu dari Bangilan,” ujar Suud.

Pada tahun 1978 Pasar Besar sempat mengalami kebakaran. Saat kebakaran terjadi, Suud sedang bermain sepakbola di stadion. Begitu pulang ke rumah, ia mendapat kabar Pasar Besar terbakar. Suud langsung bergegas ke pasar untuk membantu menyelamatkan barang-barang yang ada di warung.

“Itu kebakaran besar. Setelah kejadian itu warung Rawon Saminah pindah tempat, tapi masih di komplek Pasar Besar,” imbuh Suud.

Maman mengungkapkan, dulu di Bangilan ada setidaknya empat penjual rawon yang kondang yakni Rawon Saminah, Rawon Sederhana, Rawon Wak Gondel, dan Rawon Wak Dewi. Rawon Wak Gondel dan Rawon Wak Dewi entah tidak diketahui lagi keberadaannya sekarang.

Maman sendiri masih merupakan keluarga pemilik Rawon Sederhana. Rawon Sederhana didirikan oleh Rukayah yang tak lain adalah nenek Maman. Orang tua Maman membuka depot sendiri bernama Depot Rawon Sederhana 2 Hj. Ida yang terletak di Jalan Soekarno Hatta, Kota Pasuruan. Sementara tongkat estafet depot utama Rawon Sederhana kini dilanjutkan oleh Zainudin, anak terakhir Rukayah.

Saya sempat diajak masuk ke dapur Rawon Sederhana yang berada tak jauh dari rumah Maman. Di dalam dapur tampak dua laki-laki muda sibuk menusuk daging sapi yang telah dimarinasi. Kemudian ada juga seorang perempuan yang sibuk memasak bumbu di dua wajan berukuran besar.

“Zaman dulu waktu masih di Pasar Poncol terkenalnya rawonnya Kaji Ruk. Mbah saya dulu jualan jam 4 sore sampai 12 malam. Hari-hari biasa bisa habis 28 kilo nasi. Kalau malam rabu, malam ahad, bisa sampai 49 kilo nasi,” kata Maman.

Rawon Sederhana dan Rawon Saminah lahir dari kampung yang sama. Jaraknya pun tidak jauh. Keduanya juga lahir di medio tahun yang sama, yakni tahun 1940-an. Hanya saja, sampai sekarang hanya Rawon Sederhana yang dapurnya masih menetap di Bangilan, sementara dapur Rawon Saminah sudah pindah.

Maman menyebut, sejak awal mendirikan depot rawon, neneknya juga sudah membuat sate komoh. Sate komoh, kata Maman, pada zaman dulu termasuk makanan mewah dan sate komoh itulah yang menurut dia menjadikan rawon di Bangilan berbeda dengan rawon-rawon lain di luar sana.

“Satu lagi yang khas dari rawon bangilan, namanya osik. Itu sisa irisan daging empal dan sisa daging sate komoh yang dijadikan satu lalu dimasak sendiri. Disajikan bareng krupuk rambak,” imbuh Maman.

Sebagai warga asli Bangilan, Maman tampak sangat mencintai dan peduli pada kampungnya. Menurut dia, rumah-rumah kuno yang ada di wilayah Bangilan bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk datang. Apalagi letak Bangilan yang cukup strategis, dekat dengan kawasan alun-alun. Belum lagi produk-produk lokal seperti kuliner dan kopi.

“Menarik kan jadi kampung wisata tematik. Kampung kuno Bangilan. Kalau di Malang seperti Kampung Warna Warni dan Kayutangan Heritage. Nanti ada pengunjung diajak keliling kampung, bertemu warga, ngobrol, dapat cerita. Kalau mau oleh-oleh ada Kopi Sepoor Kaspandi, ada produk kerajinan kulit,” pungkas Maman. (asd)