Sukapura (WartaBromo.com) – Pada saat Wulan Kapitu, Suku Tengger di Sukapura, Kabupaten Probolinggo, menjalani tradisi pati geni atau megeng sebagai bentuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Widi.
Megeng atau pati geni dalam konteks ini diartikan sebagai puasa dengan kondisi yang lebih tenang dan hening. Warga Tengger melakukan amati geni, amati lelungan, dan amati karya, yang secara praktis berarti tidak ada cahaya, tidak bepergian, dan tidak bekerja.
Selain itu, selama sebulan penuh, warga juga melaksanakan poso mutih atau puasa mutih. Mereka hanya diperbolehkan makan nasi putih dan air putih, sebagai upaya untuk mengendalikan hawa nafsu duniawi dan mendekatkan diri pada Sang Hyang Widi.
“Poso mutih bagi kami adalah wujud terima kasih dan rasa syukur pada sang pencipta,” kata tokoh masyarakat Tengger, Supoyo, pada Selasa (12/12/2023).
Pentingnya tradisi ini tercermin dalam himbauan Sunaryono, Kepala Desa Ngadisari kepada warganya untuk mematikan listrik, termasuk pemilik hotel, restoran, homestay, warung, dan usaha lainnya.
Pemadaman listrik dilakukan dua kali, pada awal dan penutupan Wulan Kapitu. Dengan harapan menciptakan ketenangan, hening, dan suasana khidmat saat pelaksanaan pati geni atau megeng.
Ketua PHDI Kabupaten Probolinggo, Bambang Supraptp menjelaskan, Wulan Kapitu atau bulan ketujuh dalam kalender Suku Tengger, merupakan bulan yang disucikan.
Pada bulan ini, masyarakat Suku Tengger melakukan laku puasa mutih selama satu bulan penuh. Ritual untuk menahan perilaku atau sifat keduniawian dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Diawali dan diakhiri dengan tapabrata, ya seperti Nyepi itu. Selama mutih, hanya akan mengkonsumsi makanan seperti air mineral, nasi putih, tanpa adanya bahan bumbu penyedap rasa,” terangnya.
Dalam menghadapi kondisi darurat, tim khusus seperti jagabaya, Satpol PP, TNI, dan Polri telah disiapkan untuk menjaga keamanan selama pelaksanaan tradisi ini. (lai/saw)