Politik tanpa Elite (1): Jalan Ninja Tukang Pijat Menembus Parlemen

616
Selain memijat, Yeyen juga bekerja sebagai sales untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Oleh: Amal Taufik

MEREKA, tetangga-tetangga itu sering bilang, Yeyen kapan tidurnya?” ujar Anggrena Nia Novita Amir (39), saat ditemui di rumahnya di Jalan Jambangan III, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, Selasa (06/01/2024).

Bagi Yeyen—sapaan akrab Anggrena—barangkali waktu 24 jam kurang. Ia seorang single parent dengan empat anak laki-laki dan semuanya masih bersekolah. Ia bukan pekerja swasta atau pegawai negeri yang memiliki pendapatan bulanan, sehingga berbagai pekerjaan harus dilakoninya. Ora obah, ora mamah, kata pepatah Jawa.

Sehari-hari, Yeyen dikenal sebagai massage therapist atau terapis pijat dan sudah mengantongi surat terdaftar penyehat tradisional. Selain itu ia juga sales air mineral, kurir, membuka jasa laundry, hingga makelar berbagai barang mulai rumah hingga mobil.

“Semua saya lakoni. Pernah sehari saya mijat 10 orang selama beberapa hari. Langsung mimisan. Akhirnya sekarang saya batasi sehari maksimal lima orang. Dulu juga pernah ikut ojek online. Tapi yang utama sekarang pijat dan sales air mineral.”

Di lain sisi, Yeyen juga memiliki semangat yang kuat dalam berorganisasi dan berkegiatan sosial. Saat ini dirinya aktif sebagai pengurus Karang Taruna Kecamatan Purworejo, perempuan kepala keluarga (Pekka), PKK, kelompok pengajian, serta aksi-aksi sosial seperti penggalangan dana/sedekah.

Sejak masih duduk di bangku sekolah dirinya memang sudah gemar berorganisasi dan melakukan berbagai kegiatan sosial. Ia mengaku punya kepuasan tersendiri ketika bisa menolong orang lain.

“Orang-orang mengira saya dibayar, padahal kan tidak ada kalau kegiatan sosial seperti itu. Bayarannya nanti entah di akhirat. Bahkan sampai sekarang itu saya mikir, Ya Allah kenapa saya hanya bisa sedekah senyum, padahal saya ingin lebih. Tapi senyum itu sedekah kan?”

Keaktifannya di berbagai organisasi, komunitas, hingga aksi sosial itulah yang membawanya berkenalan dan bergabung dengan partai politik (parpol) pada tahun 2020. Partai Gelora menjadi pilihannya.

Menjelang pendaftaran calon legislatif untuk Pemilu 2024, Gelora menawari perempuan kelahiran Kota Makassar ini maju sebagai salah satu calon legislatif untuk Daerah Pemilihan Purworejo Kota Pasuruan.

Tawaran ini tak main-main. Dari keaktifannya di berbagai organisasi dan kegiatan sosial, mungkin Yeyen dinilai sudah memiliki cukup integritas dan kecakapan, tetapi dari sisi finansial? Sebagai tukang pijat dan sales air mineral, modal finansialnya jauh dari kata cukup.

Riset LPEM Universitas Indonesia pada tahun 2014 menyebutkan ongkos investasi politik standar untuk caleg berada di rentang mulai Rp250 juta hingga Rp4 miliar. Ini ongkos pada tahun itu. Besaran biaya ini pun tidak menjadi jaminan keterpilihan caleg.

Yeyen mengaku pernah didatangi seorang ‘bos’ dari luar daerah. Ia sama sekali tidak mengenal orang ini. Kata dia, si bos ini tahu profilnya setelah mendapat rekomendasi dari salah satu kawannya.

Si bos mendatanginya dengan membawa tawaran sponsor yang jumlahnya sangat besar: Rp2 miliar. Jika merujuk pada riset LPEM UI, uang sebanyak itu tentu sangat cukup untuk membiayai kampanyenya, juga meningkatkan peluang keterpilihannya.

Jika setuju, Yeyen tinggal tanda tangan di atas materai. Uang langsung cair saat itu juga. Tapi ada konsekuensi yang harus ditanggungnya. Lolos atau tidak lolos ke parlemen, Yeyen harus mengembalikan uang itu. Jika kemudian lolos, menurutnya, si bos ini juga bakal minta proyek dari dirinya sebagai timbal balik.

“Siapa sih yang nggak mau uang? Ini di telinga kanan saya bilang ‘ambil, ambil, ambil’, telinga kiri saya bilang ‘jangan, jangan, jangan’. Benar-benar bimbang. Lalu tiba-tiba muncul bayangan ibu saya bilang ‘jangan!’, akhirnya saya tidak mau,” ujarnya.

Yeyen tak ambil pusing soal modal finansial. Ia hanya percaya ikhtiar. Anak-anaknya mendukung. Keluarganya mendukung. Perkara berhasil atau tidak berhasil, bukan urusannya. Beruntung lagi, pimpinan parpolnya berbaik hati mau diajak tandem. Setiap blusukan untuk kampanye di kampung-kampung, dia turut memperkenalkan pimpinan parpolnya yang juga merupakan Caleg DPRD Provinsi Jawa Timur.

“Saya ini juga ditawari partai lain, sampai ada yang memberi ruang, mau minta nomor berapa. Tapi saya tidak mau,” ujarnya.

Yeyen menunjukkan kartu kompetensinya.

Jalan Ninja Menembus Parlemen

Yeyen sedikit membuka kisah pribadinya. Saat masih bersuami, selama belasan tahun tinggal di Kota Pasuruan ia mengaku hanya tahu tiga tempat: Pasar Kebonagung, alun-alun, dan sekolah anak-anaknya. Saat itu, kata dia, memang dirinya adalah full time ibu rumah tangga yang lebih banyak melakukan pekerjaan domestik.

“Semenjak di organisasi, kegiatan sosial, parpol, kampanye, blusukan, saya baru sadar kalau Kota Pasuruan itu luas,” katanya.

Dirinya tak menampik jika ada adagium: politik itu kejam. Pasalnya, selama terlibat langsung di dalam kontestasi politik di Pemilu 2024 ini, Yeyen tidak jarang mengalami hal tersebut.

Sebagai pendatang baru dari parpol yang juga baru, tidak jarang dia diremehkan dan disepelekan. Ia bahkan mengaku pernah diserang kampanye hitam oleh lawan politiknya.

“Tapi mental saya ini mental baja. Diserang model apapun, dicaci, dihina, ya saya senyumin saja.”

Yeyen juga mengakui, sebagai perempuan, dirinya menghadapi jalan terjal dan berliku di dalam kontestasi politik. Sejak awal mengiyakan untuk maju sebagai calon legislatif, Yeyen berkomitmen tidak mau hanya sebagai caleg pelengkap kuota 30 persen keterwakilan perempuan.

Keterwakilan perempuan di parlemen masih menjadi tantangan hingga saat ini. Mengutip data Publikasi Statistik Indonesia 2015, jumlah anggota DPR RI berjenis kelamin perempuan sejak tahun 1955 hingga 2014 selalu bertambah, namun tidak pernah sampai 30 persen dari total seluruhnya. Bahkan pada tahun 2019 jumlah anggota DPR RI perempuan masih 20,52 persen.

Di Kota Pasuruan, hasil Pemilu 2019 lalu menempatkan 30 orang menjadi anggota DPRD. Dari 30 anggota tersebut, hanya ada satu anggota perempuan. Artinya, representasi perempuan yang duduk di kursi DPRD Kota Pasuruan tak sampai 10 persen.

“Kenapa begitu? Ya karena perempuan selalu diasingkan, tidak penting di politik, buat jangkep-jangkepan. Itu yang saya ingin dobrak, meski dengan perjuangan yang sulit,” tutur Yeyen.

Secara tegas, Yeyen menekankan perempuan jangan sampai buta politik, karena melalui politiklah aspirasi perempuan itu bisa diperjuangkan. Ia menolak jika ada yang menyebut politik identik dengan laki-laki. Partisipasi perempuan sangat penting untuk ikut berkompetisi di dunia politik.

Ia menilai politik yang didominasi oleh laki-laki cenderung hanya mendorong kebijakan yang sifatnya pembangunan fisik dan seringkali abai terhadap aspirasi perempuan. Padahal banyak urusan perempuan yang seharusnya juga masuk dalam perumusan agenda kebijakan.

Namun yang menjadi tantangan kemudian, menurut Yeyen, adalah sejauh mana dukungan sesama perempuan. Pengalamannya selama ini, sesama perempuan bahkan tidak saling mendukung.

“Itu pola pikir yang perlu diubah. Perempuan malah mendukung laki-laki, yang punya duit pula.”

Belakangan, Yeyen mencetak 3.000 voucher pijat bayi dan anak usia 10 tahun gratis. Pada voucher tersebut juga tertulis nama lengkap Yeyen, logo parpol, dapil, serta nomor urutnya. Voucher itu ia bagikan setiap kali melakukan kampanye.

Tapi anehnya, voucher pijat bayi dan anak gratis itu berlaku bukan selama masa kampanye. Voucher tersebut justru, oleh Yeyen, dibuat berlaku mulai bulan Maret tanpa masa akhir alias selamanya.

“Saya tidak bagi-bagi sembako. Saya membagikan kartu manfaat. Lha bagaimana? Saya mampunya itu. Apakah kalau misalnya saya gagal jadi anggota dewan, kartu itu masih berlaku? Ya masih. Ini salah satu sedekah saya,” pungkas Yeyen. (asd)