Cita Rasa Bandeng Jelak dan Legenda Mbah Pangeran

84

Oleh: Amal Taufik

ALKISAH, suatu hari sosok bernama Mbah Pangeran berjalan di sepanjang kawasan tambak ikan bandeng di Kota Pasuruan. Mbah Pangeran ini konon sangat ingin mencicipi bandeng, tetapi sepanjang perjalanan yang ia tempuh, belum ada warga yang berkenan mendermakan bandengnya. Sampai akhirnya Mbah Pangeran tiba di Lingkungan Jelakrejo, Kelurahan Blandongan. Di sini, rasa ingin mencicip bandeng itu terbayar. Ada warga yang berbaik hati menyuguhkan seporsi ikan bandeng untuk Mbah Pangeran.

Mbah Pangeran pun berterima kasih kepada warga setempat. Ungkapan rasa terima kasihnya itu juga disampaikan dalam bentuk ‘sabda’ yang kira-kira berbunyi: bandeng-bandeng yang berada di Lingkungan Jelakrejo tidak bisa besar, namun punya rasa yang selalu lebih unggul dibanding bandeng-bandeng lainnya.

“Itu cerita yang berkembang dari mulut ke mulut yang dipercayai masyarakat setempat. Ya cerita rakyat gitulah,” kata Analis Akuakultur Ahli Muda Dinas Perikanan Kota Pasuruan, Rosepta Dini Febriani, Minggu (21/04/2024).

Memang sampai sekarang ukuran bandeng di Lingkungan Jelakrejo—atau lebih populer disebut bandeng jelak—tidak bisa besar. Apalagi jika dibandingkan bandeng dari Sidoarjo, Gresik, atau bahkan Semarang. Biasanya satu kilogram bandeng jelak berisi 6 atau 10 ekor. Berbeda dengan bandeng sidoarjo atau bandeng gresik yang satu kilogramnya berisi 3 atau 4 ekor, bahkan ada yang 2 ekor.

Namun tentu saja, kecilnya ukuran itu tidak semata gara-gara ‘sabda’ Mbah Pangeran. Septa—sapaan akrab Rosepta—menyebut, secara ilmiah bandeng jelak tak bisa besar salah satunya karena dipelihara secara tradisional. Pola pemeliharaan tradisional itu ialah para petambak tidak memberi pakan pabrikan terhadap bandeng mereka.

“Berbeda dengan di Gresik, misalnya, yang dipelihara secara intensif. Diberi pakan pabrikan, airnya dibuat melimpah sampai pakai genset. Semuanya serba ditata, karena itu bandeng mereka besar-besar,” ujar Septa.

Meski ukurannya kecil, bandeng jelak bukan kemudian kalah saing dari bandeng-bandeng lainnya. Bagi penikmatnya, ukuran kecil itu justru memunculkan rasa gurih yang lebih intim. Bandeng jelak bahkan terkenal bebas bau tanah/lumpur seperti yang biasa ditemukan pada bandeng-bandeng lainnya.

“Kalau dari sisi ilmu pengetahuan, ada beberapa hal yang menjadikannya tidak bau tanah. Salah satunya kondisi tanah di Jelakrejo,” imbuhnya.

Pasuruan Kota Bandeng

Dinas Perikanan Kota Pasuruan mencatat, perikanan budidaya di Kota Pasuruan didominasi enam jenis ikan, yakni bandeng, gurame, lele, nila, udang windu, dan udang vaname. Selain enam jenis ikan itu, ada beberapa petambak yang membudidayakan gracilaria verrucosa: salah satu spesies rumput laut yang dibudidayakan di tambak dengan cara horizontal.

Bandeng menjadi komoditas paling produktif dari sekian potensi perikanan budidaya. Sepanjang tahun 2023, produksi bandeng di Kota Pasuruan mencapai 1.834.363 kilogram. Urutan kedua adalah produksi lele yang mencapai 230.081 kilogram dan urutan ketiga adalah produksi udang vaname sebesar 176.354 kilogram.

Tahun 2024 ini, pada bulan Februari kemarin, produksi bandeng tercatat mencapai angka 243.685 kilogram. Jumlah ini lebih besar dibandingkan produksi bandeng pada bulan Februari tahun 2023 sebesar 225.195 kilogram.

Dari data di atas, bandeng sudah jelas merupakan komoditas perikanan budidaya paling besar di Kota Pasuruan. Lahan perikanan budidaya di Kota Pasuruan luas totalnya 636 hektare dan Jelakrejo, yang merupakan tempat bandeng jelak berasal, adalah wilayah yang memiliki kawasan tambak paling luas, yakni 143 hektare.

Dinas Perikanan Kota Pasuruan pada tahun 2022 menyusun program inovatif bernama Banser. Banser adalah akronim dari “Bandeng Serbu Restoran”. Program ini merupakan bentuk intervensi Pemkot Pasuruan dalam mempopulerkan bandeng jelak dan menaikkan omzet pengelola bandeng.

Dinas perikanan menggandeng seluruh stakeholder mulai hotel, restoran, influencer, media, pengolah hingga pembudidaya di Kota Pasuruan untuk bersama-sama mempromosikan bandeng jelak. Salah satu cara promo yang digunakan adalah dengan meminta hotel dan restoran di Kota Pasuruan untuk menyediakan olahan bandeng di menu makanan mereka.

Program ini disambut baik oleh hotel dan restoran. Juru masak mereka langsung berburu bandeng jelak lalu mengolahnya menjadi sajian yang sedap. Melalui program Banser ini pula omzet pengelola bandeng jelak meningkat tajam. Banser membuat bandeng jelak makin dikenal. Omzet mereka bahkan tercatat sampai Rp25 juta per bulan.

Di Jelakrejo, ada 4 kelompok pengelola bandeng: Jelak Maju, Jelak Berkarya, Jelak Sodo Wae, Jelak Joyo Food. Kelompok ini berisikan 8 sampai 10 orang ibu-ibu. Olahan bandeng mereka sangat beragam dengan pangsa pasar yang kini mulai merambah luar kota seperti Malang, Surabaya, Probolinggo.

Saya dulu bukan penggemar ikan bandeng. Ikan bandeng bagi saya termasuk salah satu makanan yang merepotkan karena memiliki duri yang banyak sekali. Tapi suatu kali saya mencicipi bandeng bakar madu bikinan ibu-ibu Jelak Joyo Food. Bandengnya sudah tanpa duri. Rasa dagingnya gurih berpadu dengan bumbu manis, sungguh rasanya membuat gembira.

Dua tahun lalu, ibu-ibu Jelak Joyo Food merilis menu bandeng yang, menurut saya, cukup canggih. Namanya sate komoh bandeng. Itu adalah daging bandeng seukuran jempol orang dewasa yang dibalur bumbu rempah lalu ditusuk pakai bambu dan kemudian dibakar. Saya mencicipinya saat Festival Bandeng Jelak. Rasa nikmatnya niscaya membuat Anda melupakan masalah-masalah dalam hidup.

Selain bandeng bakar madu dan sate komoh bandeng, varian lain olahan bandeng jelak ada bandeng presto, bandeng krispi, abon bandeng, botok bandeng, hingga stik duri bandeng. Berbagai produk olahan bandeng jelak ini juga menjadi langganan organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemkot Pasuruan saat menjamu tamu dari luar kota atau sekadar hidangan di kegiatan-kegiatan internal kantor.

Perkuat Branding Lewat Pariwisata

Sejatinya, bandeng jelak sudah memiliki pasar lokal yang lumayan. Belum lagi, sejak beberapa tahun terakhir, Pemkot Pasuruan rutin menggelar Festival Bandeng Jelak. Festival ini menjadi ajang promosi dan sosialisasi produk bandeng jelak kepada publik yang lebih luas.

Yang perlu menjadi catatan, Festival Bandeng Jelak jangan sampai berhenti pada seremoni belaka. Sebagai produk kuliner, olahan bandeng jelak sepeti bandeng bakar madu dan sate komoh bandeng memiliki rasa yang tidak hanya sedap, tapi sangat bisa diadu dengan produk olahan bandeng dari daerah lain.

Sekarang tinggal bagaimana dan sejauh mana Pemkot Pasuruan mau intervensi untuk mengurus bandeng. Pemkot, misalnya, di lain sektor menunjukkan keseriusannya mem-branding mebel di Kelurahan bukir. Setelah membangun wisata kampung mebel, tahun ini pemkot juga menambah fasilitas penunjang wisata kampung mebel dengan membangun penanda sekaligus papan informasi di 10 titik.

Hal yang sama seharusnya juga bisa dilakukan terhadap bandeng jelak. Pada tahun 2022 lalu, pemkot pernah mengalokasikan anggaran Rp600 juta untuk membangunan kampung tematik di Lingkungan Jelakrejo yang mencakup pembangunan tugu ikon bandeng jelak dan sejumlah infrastruktur pendukung lainnya.

Sayangnya kampung tematik itu sama sekali belum bisa menarik perhatian karena tidak tampak dari luar. Pengunjung harus lebih dulu masuk ke dalam kampung untuk tahu bahwa ada kampung tematik tersebut. Maksud saya, seperti wisata kampung mebel bukir, perlu ada banyak penanda ikonik di lokasi yang strategis sebagai branding sekaligus petunjuk arah bagi pengunjung.

Toh lokasi Jelakrejo sebenarnya tak sulit-sulit amat dijangkau. Lingkungan Jelakrejo berada di sekitar Jalur Pantura Pasuruan-Probolinggo. Tak begitu jauh dari gapura masuk Kota Pasuruan yang berada di sisi timur. Jika ada penanda yang eye catching di sekitar situ, tentu akan membuat orang penasaran dan bahkan berkeinginan mampir.

Pendekatan pariwisata bisa dipilih pemkot untuk mengembangkan potensi bandeng jelak. Cooper, et al. dalam Suwena dan Widyatmaja (2017) menyebutkan 4 faktor penentu keberhasilan destinasi pariwisata yaitu Attraction (Daya Tarik), Access (Aksesbilitas), Amenities (Fasilitas), Ancilary Service (Layanan Pendukung). Saya rasa bandeng jelak memiliki semuanya.

Daya tarik berkaitan dengan nilai unik apa yang bisa dijual di Jelakrejo. Di Kota Batu ada wisata petik batu. Di Kabupaten Magetan ada wisata petik stroberi. Di Kota Pasuruan bisa dibentuk wisata jaring bandeng dan langsung makan di tempat. Tak hanya itu, wisata ini juga bisa digunakan sebagai wisata edukasi dengan sasaran sekolah-sekolah di Kota Pasuruan.

Kedua, soal akses. Akses menuju Lingkungan Jelakrejo seperti sudah saya sebutkan di atas, tidak sulit. Bahkan untuk menuju kawasan tambak pun aksesnya juga cukup mudah. Ketiga, amenitas atau fasilitas di luar akomodasi. Pemkot perlu melakukan pembangunan lanjutan mempercantik kampung bandeng. Misalnya dengan membangun taman, kios oleh-oleh, dan lainnya. Namun untuk selain itu, seperti penginapan, tempat makan, bisa menerapkan community based tourism atau pariwisata berbasis masyarakat.

Sunaryo (2013) mengungkapkan, ada tiga prinsip pariwisata berbasis masyarakat, yakni, mengikutsertakan masyarakat dalam mengambil keputusan, adanya kepastian masyarakat lokal menerima manfaat dari kegiatan pariwisata, dan pendidikan pariwisata untuk masyarakat lokal.

Keempat, faktor layanan pendukung. Pemkot Pasuruan telah mendirikan tourist information center (TIC) untuk melayani para wisatawan. Tim pemandu wisata TIC bisa menjadi ujung tombak layanan kepariwisataan. Termasuk memperkenalkan, bahkan mungkin mengajak wisatawan, berkunjung ke kampung bandeng sambil mencicipi kuliner setempat.

Selain itu, jika pemkot benar-benar serius mengurus bandeng, perlu adanya strategi sustainable marketing atau promosi yang berkelanjutan. Saat ini ada berbagai media promosi yang bisa dipilih pemkot, baik digital seperti media sosial dan website maupun konvensional seperti koran, majalah, dan lainnya. Promosi itu mencakup keunggulan bandeng jelak dibanding bandeng-bandeng lain. Dibutuhkan satu rumusan yang benar-benar mendefinisikan identitas bandeng jelak yang unik dan tidak mungkin ditemui di tempat lain.

Jika perlu, pemkot membangun semacam landmark bandeng berukuran besar di tiga titik masuk Kota Pasuruan, yakni di gapura masuk Kota Pasuruan di Blandongan dan Karangketug, serta di pintu keluar-masuk Tol Sutojayan.

Dengan ini, promosi bandeng jelak tidak melulu di acara-acara festival bandeng atau seremoni lainnya. Di luar itu, promosi terus dilakukan secara efektif, efisien, dan proaktif untuk mengetahui permintaan pasar, menjangkau pasar lebih luas, dan menjemput wisatawan untuk datang. (asd)