Tirakat Sound Horeg

140

“Indonesia, khususnya di provinsi kita, hawanya sedang kurang enak. Orang sedang ribut soal fatwa haram sound horeg. Tapi kok makin lama makin tak terkendali. Jangankan di media sosial, di dunia nyata saja sampai mengkhawatirkan. Dan yang lebih menyedihkan, saudara-saudara kita sesama muslim, sesama anak bangsa, sesama pribumi, sampai adu fisik di pengajian habib Riziq di Jawa Barat.”

Oleh : AbdurRozaq

Beberapa hari ini, Gus Karimun tak nampak di warung Cak Sueb. Wak Takrip bilang, kiai muda itu sedang ngelakoni, entah mentirakati apa. Gus Karimun bukan dukun, apalagi politisi, jadi tidak mungkin sedang ngelakoni dalam rangka mensukseskan hajat pasiennya. Apalagi mensukseskan agenda politik pribadinya. Jika Gus Karimun sudah topobroto begitu, biasanya ada hal gawat. Terutama menyangkut umat, Islam atau bangsa.

“Pengajian rutin kemarin Gus Kerimun sampai nangis sesenggukan,” ujar Wak Takrip mengisahkan. “Katanya, bangsa ini sedang sakit, bahkan sakit parah. Jika tidak dikejar dengan doa, bisa jadi akan ada huru-hara.” Seisi warung tegang mendengar penuturan Wak Takrip. Wak Takrip terkenal jujur, apalagi sedang menceritakan orang jujur. Jadi sudah pasti, kisahnya itu benar adanya.

“Gus Karimun bilang apa, ada apa sebenarnya?” Korek Cak Paijo LSM.

“Katanya soal polemik sound horeg, dan salah paham antara PWI LS dengan FPI. Entah PWI LS dan FPI itu apa sih, cak?” Ujar Wak Takrip, menjawab sekaligus bertanya.

“Jadi, Gus Karimun sampai tirakat soal sound horeg dan polemik PWI dan FPI ini?” Mahmud Wicaksono nimbrung seraya meraih bungkus rokok Cak Paijo LSM. Si empunya rokok malah menyodorkan korek bergambar logo partai.

Entah weruh sak durunge winarah entah kebetulan, tiba-tiba Gus Karimun muncul di warung. Menyalami semua orang, lalu memesan kopi seraya menaruh beberapa bungkus rokok di lincak. Semua orang tahu, rokok itu sudah diwakafkan. Semua orang boleh menyulutnya sesuka hati.

“Kok tegang semua, ada apa?” Ujar Gus Karimun membuka obrolan. Matanya sembab, mungkin kurang tidur sekaligus terlalu banyak menangis. Beruntunglah warga kampung Cak Manap. Di saat semua orang tidur atau melek tapi main judol, masih ada penjaga gawang. Ada Gus Karimun dan beberapa orang santrinya yang menggedor pintu langit di sepertiga malam. Memohon ampunan sekaligus menolak petaka.

“Anu, gus, kami semua rasan-rasan njenengan. Kok beberapa hari ini prei tidak nyangkruk di warung,” ujar Mahmud Wicaksono.

“Seperti yang diceritakan Wak Takrip, saya sedang lelaku.” Semua orang saling pandang. Kenapa Gus Karimun bisa tahu yang mereka obrolkankan tadi.

“Indonesia, khususnya di provinsi kita, hawanya sedang kurang enak. Orang sedang ribut soal fatwa haram sound horeg. Tapi kok makin lama makin tak terkendali. Jangankan di media sosial, di dunia nyata saja sampai mengkhawatirkan. Dan yang lebih menyedihkan, saudara-saudara kita sesama muslim, sesama anak bangsa, sesama pribumi, sampai adu fisik di pengajian habib Riziq di Jawa Barat.” Senyap. Semua orang menahan nafas.

“Indonesia tinggal menunggu pemantik saja untuk terbakar.” Semua orang tercekat. Sebab jika Gus Karimun yang bilang, akurasinya hampir setara jangka Jayabaya. Ramalan atau tepatnya hasil istikharah Sunan Giri Prapen itu. Bisa-bisa akan terjadi sungguhan.

“Semoga saja tidak ada lintang kemukus seperti tahun 1965,” tambah Gus Karimun seraya menerawang. Matanya memerah, berkaca-kaca. Gus Sakti yang ahli pencak sekaligus ahli ilmu kanuragan itu, memang terkenal lembut hatinya.

“Soal fatwa sound horeg, dalam hati saya sepakat, asal dengan catatan. Tapi ya, sebaiknya kita tidak usah memperkeruhnya. Yang mau nurut sama kiai ya monggo, tidak menerima fatwa ya, mau bagaimana lagi? Jangankan fatwa, wong ayat Al Qur’an saja banyak yang kita tolak, meski sering kali tak merasa begitu,” ujar Gus Karimun resah.

“Kalau saya sih, memang keberatan dengan sound horeg, gus” timpal Mahmud Wicaksono lancang.

“Ya memang ada sirkulasi rejeki UMKM di sana. Ya memang ada perputaran uang cukup besar dan sebagian masyarakat terhibur. Tapi kan, banyak juga masyarakat yang justru terganggu. Suaranya berdentum-dentum di atas ambang aman. Kalau karnaval, selalu bikin macet dan diiringi tarian-tarian seronok padahal banyak bocah yang menonton. Andai digelar di lapangan pun, seringkali diselingi tawuran, mabuk-mabukan, bahkan dulu pernah ada warga pesisir utara kota ini yang meninggal karena bacokan. Apalagi sampai merusak rumah orang, membongkar gapura, membongkar pembatas jembatan. Bahkan terbaru, di kota Prabu Ken Arok sana, sampai ada kepala desa yang memberi surat edaran agar bayi, orang sakit dan manula dihimbau mengungsi karena di desa itu akan diselenggarakan karnaval sound horeg,” ujar Mahmud Wicaksono panjang lebar.

“Ya jangan hanya melihat sisi buruknya saja, cak,” celetuk Cak Paijo LSM.

“Rakyat butuh hiburan, ini juga merupakan kearifan lokal di provisni kita. Bahkan tak jarang, sound horeg dijadikan sarana bersih desa dan ajang silaturahmi antar warga. Mereka urunan sendiri, tidak menggunakan dana desa, bahkan kalau ada rumah warga yang rusak, mereka ganti. Apanya yang salah?” Cak Paijo LSM muntap.

“Coba sampeyan lihat komentar netizen di dunia maya, lebih banyak mana yang suka sound horeg daripada yang menghujatnya? Bahkan provinsi kita kena bully seakan semua orang di sini suka sound horeg,” balas Mahmud Wicaksono.

“Tapi setiap orang kan punya hak untuk bergembira dengan cara mereka?”

“Dan semua orang juga berhak untuk tidak terganggu. Boleh mereka menggunakan haknya untuk menyetel sound horeg, asal tidak mengganggu ketenangan orang lain dengan suaranya.”

“Namanya bermasyarakat, ya ada bermacam orang dengan keunikan dan pemikirannya masing-masing.”

“Justru karena itu, tidak boleh seenaknya sendiri!” perdebatan antara Mahmud Wicaksono semakin memanas, tapi anehnya, mereka tetap menyeruput kopi dari gelas yang sama.

“Yang paling menyakitkan, hanya demi membela sound horeg, banyak orang yang berani menghina ulama,” ujar Mahmud Wicaksono dengan muka merah padam.

“Itu karena ulama memberi fatwa tanpa konfirmasi,” ujar Cak Paijo LSM.

“Tanpa konfirmasi bagaimana, wong sudah banyak masyarakat yang mengeluh? Penanya dalam bahtsul masail itu malah korban dari kebisingan sound horeg. Makanya sampai membawa pertanyaan sound horeg ke forum bahtsul masail.”

“Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad!” Gus Karimun tiba-tiba meneriakkan sholawat. Mahmud Wicaksono, Cak Paijo LSM dan semua penghuni warung reflek menjawab.

“Sudah, kita sudahi saja rembukan ini. Tak akan ada ujung pangkalnya dan akan menambah pikiran ruwet. Sekarang ayo minum kopi. Yang mau nambah mie rebus atau nasi pecel silahkan, saya yang mentraktir.” Ujar Gus Karimun, menyerah. Debat kusir deadlock. Namun dalam hati, Gus Karimun berharap semua orang tahu diri, bisa menghargai orang lain dan tidak memaksakan kesenangannya di atas ketidak setujuan orang lain.

Memang itulah yang beliau tirakati beberapa hari ini. Dan Gus Karimun mengamalkan ilmu sastra jendra pangruwating diyu. Jadi siapa pun yang bersalah namun ngeyel dan tetap merasa paling benar, bisa-bisa kena balak.

*Hanya fiksi semata, kesamaan nama dan peristiwa hanya kebetulan semata

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.