Probolinggo (WartaBromo.com) – Sejumlah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Kabupaten Probolinggo masih harus gigit jari. Hingga memasuki September 2025, biaya operasional penyelenggaraan (BOP) yang semestinya menjadi hak mereka belum juga cair.
Persatuan Anggota Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia (PABPDSI) Kabupaten Probolinggo akhirnya turun tangan.
Pada Rabu (3/9/2025), organisasi ini melaporkan persoalan itu ke DPRD Kabupaten Probolinggo.
Aduan mereka menyoroti desa-desa di Kecamatan Sumberasih yang hingga kini tak mengalokasikan BOP.
“BOP itu hak, bukan hadiah. Lumajang bisa tegas menetapkan Rp3 juta, kenapa Probolinggo tidak?” kata Ketua PABPDSI Kabupaten Probolinggo, Agus Mulyanto.
Regulasi di Atas Kertas
Secara normatif, tak ada alasan desa menunda pencairan. Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Probolinggo, Muchlis, menegaskan aturan tentang BOP sudah jelas.
“Ada peraturan yang mewajibkan desa mengalokasikan operasional BPD. Tapi faktanya, tak ada desa yang konsisten,” ujarnya.
Ironisnya, alasan yang kerap muncul dari pemerintah desa justru menyudutkan BPD. “Dalihnya, BPD pasif. Itu alasan klasik. Banyak BPD aktif, tapi tetap tak diberi hak,” kata Muchlis.
Menurut dia, akar masalahnya ada pada ketiadaan tekanan regulatif dari pemerintah daerah. Imbauan tak cukup.
“Kalau ada indikator kinerja yang jelas dan aturan tegas, desa mau tak mau akan mengalokasikan. Selama ini, tanpa paksaan, anggaran operasional BPD selalu jadi prioritas terakhir,” tambahnya.
Motif di Balik Abainya Desa
Praktik abainya desa terhadap BPD bukan sekadar soal administrasi. Beberapa sumber di kalangan anggota BPD menyebut ada potensi konflik kepentingan.
BPD yang lemah dianggap menguntungkan sebagian pemerintah desa karena minim fungsi pengawasan.
“Kalau BPD tidak punya biaya operasional, otomatis tidak bisa jalan. Tidak bisa rapat, tidak bisa awasi. Itu yang diinginkan sebagian perangkat desa,” kata seorang anggota BPD yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Muchlis tak menampik dugaan itu. Ia menilai fungsi kontrol BPD kerap dianggap mengganggu.
“Padahal desa yang sehat justru butuh BPD aktif. Tapi banyak yang lebih nyaman kalau BPD-nya diam,” katanya.
Transparansi yang Setengah Hati
Kritik tak hanya berhenti di soal anggaran. DPRD juga menyoroti lemahnya transparansi dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa.
Muchlis mengusulkan langkah radikal: Musrenbang disiarkan langsung di kanal resmi pemerintah.
“Kalau ditayangkan live di YouTube Kominfo dan disaksikan bupati, publik bisa tahu apakah BPD dilibatkan atau hanya formalitas,” tegasnya.
Usulan ini dianggap bisa menutup ruang nepotisme dalam perencanaan pembangunan desa. Publik bisa menilai secara terbuka proyek apa yang direncanakan dan sumber dananya.
“Kalau masyarakat tahu dana jalan ini dari mana, dana posyandu dari mana, transparansi otomatis tercipta. Itu yang selama ini tidak ada,” ujar Muchlis.
Jalan Panjang Reformasi Desa
Kasus BOP yang macet di Probolinggo memperlihatkan satu hal: regulasi tak berarti apa-apa tanpa keberanian menegakkan.
DPRD sudah bersuara, PABPDSI sudah melapor, tapi tanpa sikap tegas pemerintah daerah, BPD tetap akan dipandang sebagai pelengkap belaka.
Pertanyaannya, sampai kapan fungsi pengawasan desa harus dibungkam dengan cara halus: lewat anggaran yang tak pernah turun?. (saw)