Tak hanya sibuk mencari nafkah, Kasiadi juga aktif dalam kegiatan sosial. Salah satu yang rutin ia lakukan adalah membagikan koran bekas secara gratis kepada para jemaah setiap haul KH. Abdul Hamid (Mbah Hamid) Pasuruan, ulama kharismatik yang sangat dihormati.
Laporan : Akhmad Romadoni
Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah kerap dianggap sebagai cita-cita besar yang hanya bisa diraih mereka yang berkecukupan. Biaya yang tidak sedikit dan waktu tunggu yang panjang membuat rukun Islam kelima ini terasa begitu jauh dari jangkauan sebagian masyarakat. Namun siapa sangka, dari sudut Kota Pasuruan, Jawa Timur, muncul kisah inspiratif dari pasangan suami istri yang membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang untuk mewujudkan impian suci.
Adalah Mohamad Kasiadi (68) dan istrinya, Puriyanti Rahayu (68), warga Kelurahan Gentong, Kecamatan Gadingrejo. Kehidupan mereka sangat sederhana. Kasiadi sehari-hari berjualan koran, sementara sang istri menjajakan gorengan di kios kecil mereka di tepi Jalan Hayam Wuruk, Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Purworejo.
“Agen koran ini dari pagi sudah mulai buka, siang tutup. Sementara istri saya berjualan gorengan di samping kios saya,” ujar Kasiadi sembari tersenyum saat ditemui wartabromo.com, Rabu (30/4/2025).
Tak banyak yang menyangka, dari penghasilan harian yang sering kali hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, pasangan ini mampu menyisihkan sebagian demi mewujudkan mimpi besar mereka berangkat ke Tanah Suci di tahun 2025 ini.
Perjalanan saat Kasiadi masih menjadi loper koran sejak tahun 1980 an, mengantarkan surat kabar dari rumah ke rumah. Di sela-sela waktunya, ia juga bekerja sebagai buruh pabrik. Dari jerih payah itulah, mereka mulai menabung sedikit demi sedikit.
“Awalnya berat, apalagi penghasilan tidak menentu. Tapi kami percaya, asal konsisten dan ikhlas, pasti ada jalan,” katanya.
Motivasi Kasiadi untuk berhaji lahir dari pengalaman pribadi yang menyentuh.
“Saya itu ada niat naik haji gara-gara melihat kakak saya. Beliau memiliki harta yang berlimpah namun tak bisa menunaikan rukun Islam kelima ini, dan pada akhirnya kakak saya dipanggil oleh Allah terlebih dahulu. Nah, dari situlah saya bertekad untuk mendaftarkan kursi haji,” ceritanya.
Ia menyebut, biaya awal pendaftaran haji saat itu mencapai 50 juta rupiah. Uang tersebut dikumpulkan dari hasil menabung dan dana pensiun sebagai buruh pabrik.
“Pas ada uang itu, tahun 2012 kita langsung daftar haji. Yang penting niat dulu, nggak mikir berangkat kapan,” pungkas ayah tiga anak itu.
Selama 13 tahun mereka konsisten menabung tanpa bantuan dari lembaga, yayasan, ataupun keluarga. Semua biaya ditanggung sendiri, dari uang pendaftaran hingga pelunasan.
Tahun 2024 menjadi titik krusial. Untuk menutupi kekurangan biaya haji, mereka rela menjual satu-satunya mobil keluarga yang selama ini menjadi kenang-kenangan dari hasil kerja keras bertahun-tahun.
“Mobil itu memang kenang-kenangan dari hasil berdagang, tapi bagi kami, berangkat haji adalah tujuan hidup. Mobil bisa dicari lagi, tapi kesempatan haji belum tentu datang dua kali,” tutur Puriyanti dengan mata berkaca-kaca.
Bagi mereka, haji bukan sekadar perjalanan fisik, tapi ziarah spiritual yang menjadi puncak dari perjuangan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Tak hanya sibuk mencari nafkah, Kasiadi juga aktif dalam kegiatan sosial. Salah satu yang rutin ia lakukan adalah membagikan koran bekas secara gratis kepada para jemaah saat haul KH. Abdul Hamid (Mbah Hamid) Pasuruan, ulama kharismatik yang sangat dihormati.
“Setiap tahun saya kumpulkan koran bekas, lalu saya sedekahkan saat haul Mbah Hamid. Buat saya, ini bentuk syukur atas rezeki yang saya terima. Semoga jadi amal jariah yang terus mengalir,” katanya rendah hati.
Kini, impian mereka semakin dekat. Kasiadi dan Puriyanti dijadwalkan berangkat haji pada 29 Mei 2025 bersama kloter gelombang kedua jemaah asal Jawa Timur. Kisah perjuangan mereka telah menginspirasi banyak orang di sekitarnya.
“Beliau sangat ulet, telaten, dan juga gigih menabung dari niat baik untuk berangkat haji. Itu adalah salah satu contoh bahwa siapapun bisa menunaikan ibadah haji,” ujar Hariadi, tetangga Kasiadi.
Dari kios sederhana di pinggir jalan Kota Pasuruan, Mohamad Kasiadi dan Puriyanti menunjukkan bahwa mimpi tak mengenal batas. Bahwa ibadah bukan hanya milik mereka yang mampu, tetapi milik siapa saja yang bersungguh-sungguh. (don)