PT Masa Depan Suram

1350

IlustrasiRupanya Surip benar-benar serius hendak mengundurkan diri dari PT. Masa Depan Suram tempatnya bekerja. Tentu saja bukan karena ia ingin mendapat pesangon, sebab sepeser pun takkan ia peroleh dari perusahannya itu. Sejak lama orang memang curiga dengan profesi Surip. Berangkat pagi- pulang malam, bahkan saat di rumah pun Surip sering nampak sibuk dengan kertas-kertas, data-data bahkan sering terlihat mengutak-atik laptop –entah milik siapa. Dari kesibukan dan kompleksitas tugas Surip, tak pantas jika sampai kini ia masih memposisikan mertua sebagai IMF.

Saat tukang sensus menanyakan pekerjaan Surip, malu-malu ia menjawab : Guru swasta. Pantas saja selama ini ia selalu mengaku bekerja di PT. Masa Depan Suram setiap kali orang bertanya.

Meski tak tahu setelah ini harus bekerja dimana, rupanya Surip sudah bertekad bulat untuk segera mengahiri profesinya sebagai pekerja sosial. Beras semakin mahal karena makin langka oleh hama alami dan hama jadi-jadian. BBM akan—sekali lagi –naik karena pilpres masih jauh, istrinya hamil dan mertuanya sudah mulai bosan meng-ACC proposal Surip. Maka tak ada pilihan lagi selain berhenti menjadi lilin. ”Biar saja orang mengalami kegelapan asal diri sendiri tak terbakar atau menjadi patung lilin. Memangnya enak jadi tumbal?” batinnya.

Baca Juga :   Sosmed Tunjang Pertumbuhan Ekonomi hingga 3 Persen

Mari, kita dengarkan penderitaan Surip yang mengharu-biru itu. Bahkan Tuhan pun kiranya ”diam-diam terenyuh”. “Gaji” yang ia terima, sungguh sebuah ujian iman terhadap profesi ini. Jika buruh pabrik masih dihargai keringatnya, orang-orang seperti Surip diperas keringat, air mata serta jiwanya. Tugas yang mereka emban sungguh tak main-main berat dan seriusnya.

Pagi, siang dan malam mereka harus selalu siap untuk berdinas. Bukankah perusahaan semacam ini memang punya banyak agenda dan program?. Surip harus membuat perangkat pengajaran –dengan biaya sendiri—untuk kemudian ditumpuk di kantor dinas persekolahan atau kementerian yang mengurusi agama sebagai sumbangan sampah agar dinas tersebut terlihat banyak program, mengoreksi PR yang dikerjakan dengan meng-copy-paste, mengkoreksi hasil ujian yang juga dikerjakan dengan cara seperti itu. Rapat ini dan itu, pelatihan begini dan begitu, workshop, sarasehan serta diklat yang masya Allah diadakan setiap dua hari sekali dan kata orang, demi menghabiskan anggaran di dinas anu.

Baca Juga :   Jika Pilkada 'DPRD' Sekarang, Setiyono Bisa Jadi Walikota

Suatu kali Surip terperanjat ketika membuka amplop gaji yang ia terima. Surip syok karena harapannya untuk bisa menutup hutang di beberapa toko dan kenalan, kandas. Hampir menangis ia mendapati kenyataan bahwa “manager” tak menambah gajinya setelah lima hari ia sibuk membina anak-anak OSIS untuk mengikuti lomba ini-itu. Tak tidur beberapa malam, mengikuti technical meeting dengan membujuk istrinya meminjam uang mertua untuk membeli bensin, membuat soal ujian, mengkoreksi hasil try out dan mengelus dada saat mengawasi ujian yang berlangsung dalam budaya asli Indonesia (gotong royong) antar para peserta. Surip sudah terbiasa syok dengan bilangan gaji yang ia terima – 147.000/bulan, pada tahun 2014—tapi saat itu ia benar-benar merasa diuji imannya. Jika hanya akan mendapat penghasilan sekecil itu dengan pekerjaan seberat itu, buat apa dulu ia harus kuliah dengan membiarkan Emaknya menjadi kuli tani?.

Baca Juga :   15 Kecamatan Rawan Kekeringan Ditarget Teraliri Air Bersih pada 2018

Tragis benar nasib para pegawai perusahaan ini. Mereka dituntut untuk selalu dalam performa paling elegan. Bersepatu, berbatik, menenteng tas bahkan laptop, tak siapa pun akan menyangka jika keadaan finansial mereka begitu amburadul.

Mereka tak diperkenankan memiliki profesi sampingan, harus tepat waktu, harus siap berkorban waktu, tenaga, pikiran bahkan perasaan. Harus bermoral, harus menjadi setengah malaikat, dan semua itu hanya dibalas dengan penghargaan yang sebaliknya sangat melecehkan.