Pasar Senggol Bacok

2933

“Saya tahu kalau swalayan-swalayan waralaba itu kepunyaan kaum kapitalis dan zoinis. Keuntungannya pun –saya juga tahu—untuk biaya menjajah kita. Tapi karena pelayanan mereka melegakan, ya terpaksa saya membeli di tempat mereka.”

“Saya juga kapok belanja di pasar tradisional karena di pasar kita kebanyakan para pedagangnya dari etnik tertentu yang suka mendominasi itu. Memilih barang terlalu lama dipelototi.Menawar barang dengan harga wajar disindir.Membayar dengan uang pecahan besar dicurigai uang palsu.Membayar barang murah dengan uang pecahan besar dimarahi.Sudah ada perjanjian barang cacat dikembalikan, minta ganti rugi. Padahal ukuran dan jenisnya sama persis. Tak jarang saya ditipu ketika membeli pakaian.Sudah ada tulisannya “dijamin tidak luntur,” ketika saya komplain dibilang arah saya membaca tulisan salah.Harus dibaca dari kanan, jadinya “luntur tidak dijamin.”

Baca Juga :   Dua Oknum LSM Peras Kades di Probolinggo, Berdalih Bantu Warga

“Dan, saya merasa keselamatan saya terancam setiap kali belanja ke pasar Senggol Pasuruan. Di sana sering terjadi pemalakan. Dan di sana, menyenggol orang bisa panjang urusannya. Senggol bacok! kata anak-anak muda. (Abdur Rozaq)