Warga Suku Tengger Brang Wetan Gelar Tradisi Nyadran

1888

image

Sukapura (wartabromo) –  Warga Suku Tengger Brang Wetan di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo masih merayakan Hari Raya Karo, sejak Selasa (29/9/2015) lalu. Hari ini, Minggu (4/10/2015) merupakan hari keenam perayaan karo yang diisi kegiatan nyadran atau berziarah ke makam keluarga.

Pantauan wartabromo, sejak pagi sekitar pukul 07.30 Wib, suasana di sekitar pemakaman umum Desa Ngadisari, terasa berbeda dari biasanya. Sejumlah warga tampak berkumpul di pinggir jalan yang menghubungkan ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ini. Diantara mereka, ada yang melakukan pengecekan sound system, memasang tenda, hingga ada yang langsung menuju pemakaman dengan membawa rantang berisi makanan dan bungkusan bunga ziarah.

Baca Juga :   40.192 Pemilih Belum Miliki KTP-el, Dispenduk Capil 'ngebut' Tuntaskan Perekaman

Mereka sedang bersiap merayakan acara nyadran yang digelar setahun sekali oleh warga Desa Ngadisari yakni saat bulan Karo, salah satu bulan dalam kalender adat Tengger.

Perayaan ini sebagai bentuk rasa syukur dan refleksi kehidupan mereka sehari-hari dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam dan Tuhan.

Surani misalnya, nenek berusia 60 tahun yang datang bersama anak dan cucunya  nyekar ke makam kedua orang tua, suami dan kakak-adiknya.

Dalam ritualnya, warga asli Ngadisari ini membagi nasi dan lauk pauk yang dibawanya di rantang untuk lima makam yang dikunjunginya. Tak lupa, dia yang dibantu anak-anaknya juga menaburkan bunga di atas batu nisan satu per satu di makam keluarganya itu.

Baca Juga :   Ini Cerita Penangkapan Setiyono versi KPK

”Ini sudah adat kami setiap datang Hari Raya Karo. Berangkat ke makam dari rumah dengan bawa makanan, dan kemudian meninggalkan makanan di makam,” terangnya sembari mengaku tidak pernah lupa dengan para sanak keluarganya yang lebih dahulu meninggal dunia.

Makanan yang dibawa, akan disantap setelah berdoa bersama yang dipimpin dukun adat Tengger.

‘’Nyadran bersama ini punya makna. Salah satunya menjadi pengingat kami, bahwa yang sekarang masih hidup, akan mati dan dikubur seperti keluarga-keluarga kami yang mati duluan. Tidak ada pembeda. Ini adat kami. Jadi baik yang beragama Islam, Hindu dan Budha, semuanya sama-sama datang bersama-sama ke pamakaman,’’ terang Supoyo, salah satu tokoh suku Tengger.

Baca Juga :   Ditanya Banjir Bangil, Begini Jawaban Gus Irsyad Dalam Debat Kedua

Mantan Kepala Desa (Kades) Ngadisari ini menyebut, perayaan Karo ini menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya. Kegiatan ini juga menggambarkan kentalnya kebersamaan yang dibangun warganya di tengah-tengah kehidupan sehari-hari.

‘’Setiap tahunnya, kami menggelar perayaan Karo ini dengan biaya yang ditanggung murni dari warga,” terangnya. (saw/yog)