2016, Tahun Jagung Marning

1883

IMG_20151227_213248-650x450Kita bangsa Indonesia, memang bakat menjadi bangsa jajahan. Bukan hanya bakat, hobi malah. Dijajah bangsa Eropa selama tiga ratus tahun lebih, ditambah dijajah bangsa Jepang, rupanya menimbulkan kenimatan psikologis tersendiri. Kalau tidak, mengapa kita oke-oke saja ketika djajah oleh bangsa sendiri yang menyaru sebagai pemimpin pembangunan pada masa Orde Baru?. Bukankah menghancurkan penjajah semacam itu lebih mudah dibanding dengan mengusir penjajah Eropa kalau kita mau?

Lalu muncul huru-hara pada pertengahan 1998 bernama Reformasi. Itupun ternyata sebuah moment pergantian corak penjajahan yang sedang kita nikmati detik ini. Kontrak perampokan emas di Papua diperpanjang, kita diam. KPK dilemahkan, kita sepakat. Kalau dipikir-pikir, kita ini seperti perempuan for rentyang bersedia memberi layanan kumpul kebo model BDSM alias hubungan dengan disertai kekerasan. Dan kekerasan itu sendiri membuat kita makin bergairah.

Entah karena penjajahan yang kita alami saat ini terasa kurang sensasional, beberapa tahun lalu seorang menteri dari kabinet pada masa presiden congek bin bahlul mendaftarkan kita untuk mengikuti event penjagalan bangsa-bangsa miskin dalam ajang MEA atau Masyarakat Ekonomi Asia.

Baca Juga :   Wisata Coban Baung Jadi Pilihan Lokasi Pacaran

Desember, kita sudah akan bersaing langsung dengan bule Australia, daokeh Cina dan Singapura, saling cakar dengan orang Malaysia, saling seruduk dengan orang Thailand dan semua orang dari Asia Tenggara dalam rangka mencari sesuap nasi. Cak Manap sampai ketar-ketirwarung kopinya akan dirobohkan, atau paling tidak disamping warung reot pinggir kali itu berdiri kafe milik orang Australia. Karena masyarakat kita suka latah, Cak Manap khawatir para pelanggannya akan pindah. Apalagi pasti, sekali lagi pasti, kafe atau warung kopi milik bule Australia itu akan didesain, dimanajemen dan dipasarkan dengan cara-cara yang selain canggih sekaligus curang.

Cak Manap membayangkan warung kopi bule Australia itu begitu ajaib. Kalau pesan kopi, bisa dapat bonus susu, itupun pelanggan langsung bisa memerasnya sendiri. Menu kopinya pun bermacam-macam. Kopi luwak sudah kuno. Di warung kopi si bule itu, bisa jadi menjual kopi anjing, kopi tokek, kopi bekicot, kopi susu janda liar, kopi susu marmot, kopi air mata buaya dan entah kopi apa lagi.

Baca Juga :   Harapan Bupati Tantri di Tahun 2016

Cak Kusen perajin asesoris motor, sudah mulai merinding membayangkan bagaimana produk asli made in Mayangan itu digilas produk Cina. Produk para daokeh itu jauh lebih berkualitas, lebih bagus, lebih murah sedangkan pemerintah tidak ada iktikad baik untuk melindungi produk dalam negeri. Justru bencana perdagangan bebas dimanfaatkan para pejabat untuk main mata dengan para importir untuk mempercepat kematian kita.

Wak Takrip perajin mainan anak-anak dari kayu, sudah lama dicekik oleh kedatangan mainan impor dari Cina. Lha kalau tengkulaknya datang langsung ke sini, buka lapak di sebelah warung kopi Cak Manap, bagaimana nanti nasib keluarganya.

Kita, khususnya orang Jawa belum terbiasa bersaing –dalam hal apapun—secara sportif. Ketika kalah bersaing, kita tidak bisa menerima kekalahan dengan legowo dan belajar dari keunggulan rival kita. Jalan pintas seperti mengirim paket gaib seperti tanah kuburan beserta maesannya ke tempat usaha saingan agar bisnisnya ambruk (pasangan, santet) lebih kita pilih sebagai solusi daripada memperbaiki manajemen usaha sendiri. Cara primitif seperti meneror sinyo seperti zaman Orde Baru, juga sangat tidak mungkin kita lakukan karena penjajahan kali ini dilegalkan PBB.

Baca Juga :   Haul Kyai Hamid ke-36, Gus Idris : Acara Ini Milik Masyarakat
****

Omong-omong soal peluang bisnis, sepertinya ada sedikit kabar gembira karena tidak semua bidang perdagangan akan dikuasai oleh para penjajah itu. Nah, ini mungkin bisa kita manfaatkan. Kita bergerak di bidang ini saja agar bisa bertahan dalam persaingan tidak seimbang hasil desain para dajjal yang disepakati menteri bahlul saat itu. Petama, di bidang farmasi.