Balada Ramadhan Laep

1082

Duduk santai di teras langgar selepas tarawih, Firman Murtado dibarengi Gus Hafidz.

“Alhamdulillah ya mas, kita sampai Ramadhan lagi?”Ujar Gus Hafidz

“Ya Alhamdulillah, gus.” Jawab Firman Murtado kurang semangat.

“Lho, kok loyo? Kenapa, tarawihnya terlalu cepat?”

“Bukan, gus. Malah kalau ada, saya pingin yang lebih cepat” ujar Firman Murtado masih manyun.

“Lho, ini malam suka ria lho, kenapa sampeyan malah mrengut begitu?”

“Ya sumpek, gus. Ramadhan kan membuat istri minta tambah belanja, sedangkan sembarang mundak, penggawean sepi dan gaji saya masih seratus lima puluh ribu perbulan. Zaman begini ada gaji segitu, kadang orang menuduh saya nggedabrus.”

ramadhan

“Oo, masalah itu, ta? Kalau itu masalahnya, mulai sekarang sampeyan ndak usah bingung. Pulang dari langgar nanti dada sampeyan akan plong. Wis , ndak usah khawatir. Beres pokoknya.” Firman Murtado langsung sumringah mendengar ucapan Gus Hafidz. Ini pasti, pasti nanti Gus Hafidz memberinya utangan, tanpa bunga dan penagihannya sangat lunak. Nyaur sak ilinge. Kalau toh Firman Murtado mati duluan, pasti Gus Hafidz ridho.

Baca Juga :   Tiga Bersaudara Tewas di Dalam Sumur

“Saya butuh sembarang kalir ini, gus. Beras, minyak, rokok, listrik belum bayar, LPG mau habis, bahkan nanti sahur pakai ikan tempe. Besok buka puasa ya belum jelas nasib saya.”

“Halah, kecil. Mau mbeldos kekenyangan, sampeyan?”

“Ya, gus. Kalau bisa sebulan, eh seumur hidup.”

“Remeh” Firman Murtado mulai curiga Gus Hafidz mengerjainya. Mana mungkin ia memberinya utangan sampai seperti itu.

“Sampeyan mau ngasih utangan berapa sih, gus?”

“Lho, siapa yang mau ngasih utangan?”

“Lha katanya tadi beres semua?”

“Iya benar. Beres semua. Mau kekenyangan sampai mbeldos apa?”

“Kapan bisa saya ambil utangannya, gus?”

“Lho utangan apa, mas?”

“Yang katanya beres soal beras itu?”

Baca Juga :   Persekabpas Permalukan Kresna FC Empat Gol Tanpa Balas

“Iya, tapi bukan saya yang membereskan. Ini kan sudah masuk Ramadhan, masa lupa dengan garansi Gusti Allah seperti yang dulu-dulu?”

“Iya sih Ramadhan, tapi sekarang laep, gus. Paceklik naudzu billah min dzalik. Listrik, bensin, elpiji, sembako mundak semua. Hanya gaji saya yang tetap tak mundak sejak lima belas tahun lalu.”

“Mas, masa lupa kalau Gusti Allah “cuci gudang”sekarang? Mau minta apa? Mau kaya, wayuh, nyaleg? Bisa minta apa saja sekarang, mas.”

“Iya kalau sampeyan, gus. Bisa nepotisme sama Gusti Allah. Lha saya, wong not connecting terus hingga kini.”

“Ndak mas. Sekarang—dan sebenarnya kapanpun—semua orang bisa mendapat fasilitas nepotisme. Asal puasa dan tarawih lho ya? Apalagi kalau sampai darusan segala.”

Baca Juga :   MUI Probolinggo Panggil Pelapor Penistaan Agama

“Tapi kadang pemerintah, atasan, perangkat desa, bahkan saingan bisa nyerimbeti pemberian rejeki, Gus.”

“Sekarang ndak usah mikir gitu. Hilangkan pikiran paceklik itu dari kepala kita. Bah pemerintah mau mencekik, menginjak, ngubur urip-urip, ndak ngurus. Selama ini ndak ada gunanya kok mereka. Sekarang kita buka link pribadi dengan Gusti Allah. Dan tolong sampeyan gendam sendiri diri sampeyan. Katakan kalau paceklik itu ndak ada. Katakan kalau sebulan ke depan sampeyan akan kekenyangan bahkan bisa umroh segala.”

“Apa bisa, gus?”

“Bisa kalau yakin Ramadhan ini Gusti Allah sedang “cuci gudang” rahmat, ampunan, rejeki serta kemenangan batin.”

“Bagimana kalau saya juga berharap bapak yang suka mundak-mundakno harga kena stroke?”

“Ya bisa, tapi jangan, mas.”

“Kenapa?”

“Karena tidak didoakan pun, sebentar lagi akan remek, kuwalat.”

*

Laep : paceklik

Penulis : Abdur Rozaq (wartabromo)