Melihat Fenomena Calon TKI Yang Lebih Suka “Calo” Berangkat ke Luar Negeri

810

Probolinggo (wartabromo.com) – Calon tenaga kerja Indonesia yang akan berangkat ke luar negeri, lebih suka berangkat melalui calo, tak terkecuali di Kabupaten Probolinggo. Padahal mereka rentan mengalami kekerasan fisik maupun mental, seperti yang dialami Asiyah, TKW asal Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo.

Dari data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Probolinggo, dalam 3 tahun terakhir hanya ada 29 orang yang berangkat secara resmi. Jumlah itu sepertinya njomplang dengan kondisi sesungguhnya. Karena banyak TKI/TKW yang berangkat secara ilegal.

“Kami sendiri tidak punya data berapa jumlah tenaga kerja yang berangkat secara illegal. Kalau legal pasti tercatat di kami. Biasanya, mereka yang illegal ini berangkat melalui calo tanpa dilengkapi dokumen yang resmi,” ujar Kepala Disnakertrans Kabupaten Probolinggo, Sigit Sumarsono.

Baca Juga :   Sesajen Suku Tengger di Proses Hari Jadi Kabupaten Pasuruan

Mantan kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) ini menuturkan, biasanya para calo ini mencari tenaga kerja ke pelosok desa, terutama di kantong-kantong garis kemiskinan. Seperti Kecamatan Krucil, Tiris, Gading, Pakuniran, Tegal Siwalan, dan Banyuanyar, serta kecamatan lainnya.

Para calo ini menawarkan akses mudah dan biaya murah kepada calon TKI/TKW menuju negara tujuan. Rata-rata mereka membidik calon yang tidak punya skill yang dapat diandalkan. Selain itu, mereka juga mengandalkan warga atau tokoh masyarakat setempat.

Tentu saja setelah berada di negara tujuan, mereka tidak terlacak oleh KBRI karena tidak terdaftar. Sehingga ketika mendapat kekerasan fisik dan mental, atau gajinya tidak dibayar, Pemerintah Indonesia kesulitan untuk memberikan bantuan. Sementara disisi lain, agen atau perusahaan yang memberangkatkan TKI/TKW itu sudah tutup.

Baca Juga :   Hari ini, Gus Irsyad-Gus Mujib Dikukuhkan Sebagai Bupati-Wakil Bupati Pasuruan

“Kami menghimbau agar masyarakat lebih berhati-hati ketika akan bekerja sebagai TKI. Ya karena itu tadi, harus paham birokrasinya terlebi dahulu, legal atau ilegal. Selain itu, harus punya kemampuan lebih, jangan asal bisa masak nyuci dan setrika saja,” tandas Sigit.

Maraknya calo itu diakui oleh Agustini, kerabat Asiyah. Dimana Asiyah yang tidak punya keterampilan, tertarik bujuk rayu calo lantaran tidak punya pekerjaan. Selain itu, kondisinya yang menjanda, dimanfaatkan agar mau bekerja di luar negeri.

“Ketika mendapat kontak pertama darinya (Asiyah), kami berusaha melacak perusahaan yang memberangkatkannya. Tapi ternyata kantor tersebut sudah tutup. Sehingga keluarga kebingungan, dan akhirnya berinisiatif untuk melapor ke Disnaker,” terang Agustini. (lai/saw)