“Minggat” Kunci Sukses Nasir

2908
Ia bertekad ingin jadi pengusaha. Hanya menjadi karyawan tidak akan membuatnya kaya.

Laporan Dahlan Iskan

Haji Nasir hanya tamatan STM. Kini kapalnya 7 buah. Tambak udangnya 20 hektar. Punya pabrik es. Cool storage. Perusahaannya sudah banyak: yang terkait dengan ikan: penangkapan ikan laut, budidaya udang.

Ia anggota DPRD. Dengan suara terbanyak. Tapi tidak mau lagi jadi caleg. Di Pemilu depan. Hanya mau sepenuhnya urus bisnis. Kapok masuk politik. Merasa ditipu. Tidak ada yang disebut komitmen di politik.

“Dulu saya ini dirayu. Agar mau jadi caleg,” kata Haji Nasir. “Dengan janji bisa jadi ketua DPRD. Andaikan saya bisa dapat suara terbanyak,” katanya.

Ia berhasil di Pemilu. Meraih suara terbanyak. Tapi yang berlaku dagang sapi. Jabatan Ketua DPRD itu lepas. Ke Golkar. Yang perolehan kursinya sama dengan partainya, PPP: lima. Tapi janji tinggal janji.

“Saya tidak cocok di politik,” katanya. “Istri saya juga melarang saya nyaleg lagi,” tambahnya.

Baca Juga :   Gedung SD dan Rumah Warga Retak Akibat Pengerjaan Proyek Tol Gempol-Pasuruan

Itu terjadi di Kabupaten Berau. Paling utara Kaltim.

Yang kini maju sekali. Sejak bupatinya berani membangun bandara. Sepuluhan tahun lalu.

Sejak itu Berau berubah. Tidak perlu lagi ke sana naik kapal. Dari Samarinda maupun dari Balikpapan.

Saya ingat ketika pertama ke Berau. Landasannya masih rumput. Pesawat yang ke sana berbaling satu. Isinya empat orang. Sebelum terbang, pilotnya minta tolong saya: putarkan baling-balingnya. Dengan tangan saya. Sambil kaki jinjit. Saya sedikit kurang tinggi.

Berau masih seperti itu. Kurang lebih. Ketika Haji Nasir Junaid tiba dari kampung halamannya: Barru, Sulsel.
Ia pasti tidak akan mau ke Berau. Kalau hatinya tidak sakit. Sakit sekali. Saat ia masih berumur 19 tahun. Saat Nasir belum lama tamat sekolah: STM Pembangunan di Makassar.

Pulang dari Makassar ia membantu ayahnya: jual beli ikan. Ayahnya memang nelayan tapi sambil berdagang ikan. Membeli ikan sesama nelayan. Menjualnya ke pasar.

Baca Juga :   Kekeringan, Warga Probolinggo Berburu Air Bersih Hingga ke Lumajang

Suatu saat Nasir diminta ayahnya menagih ke para pelanggan. Salah satunya tidak mau bayar: kakak sulungnya sendiri.

Sang kakak tidak mau bayar. Alasannya: uangnya lagi diperlukan untuk biaya sekolah anaknya.

Waktu menyerahkan uang tagihan ke bapaknya Nasir tidak bicara apa-apa. Setelah dihitung uangnya kurang. Nasir tidak berani melapor apa adanya. Tidak berani membuka kata-kata kakaknya. Tidak mengira juga ayahnya seteliti itu.

Ayahnya mencurigai sebagian uang itu dipakai Nasir. Marah besar. Tidak habis-habisnya. Akhirnya Nasir bicara terus terang. Tapi sang ayah terlanjur sudah marah. Nasir dituduh bersekongkol dengan kakaknya.

Nasir pun ditendang. Dengan kaki ayahnya yang kuat. Kena pantatnya.

Nasir menjauhi bapaknya. Masuk kamar. Menangis. Ibu tirinya meredakan. Gagal. Nasir ingin lari. Membawa luka yang dalam. Di dalam hati. Hati remaja.

Baca Juga :   Setelah Diamuk Wali Murid, Panitia PPDB SMPN 1 Dringu Disanksi Dispendik

Minggat.

Ia pamit pada ibu tirinya itu. Tanpa menyebut akan ke mana. Juga pamit ke ibu kandungnya. Yang juga sudah menikah lagi dengan pria lain. Ia bawa ijazah STM. Plus mengalaman magang tiga tahun. Di Astra. Saat sekolah di STM jurusan mesin dulu.

Nasir menuju pelabuhan Pare-pare. Hanya membawa dua baju. Dua celana. Dimasukkan tas kresek. Bersama ijazahnya.

Ada tiga kapal yang siap berangkat hari itu. Kapal kayu. Salah satunya ke Berau. Yang berangkat lebih dulu.
Ia bertanya ke anak kapal: apakah di Berau bisa hidup? Dengan bekal ijazah itu?
Yang ditanya melihat ijazahnya.
“Bisa”, jawab yang ditanya.

Tapi Nasir masih ragu. Ikut ke Berau atau ikut kapal lain. Ke jurusan lain.

Sinyal pertama berbunyi. Tanda kapal mau berangkat. Nasir masih terpaku di dermaga.