Sakit yang Tak Berujung

1986

Cerpen

Kali ini aku lebih menikmati rasa sakit dan mencoba berdamai dengan takdir.

Oleh: Fittriyah

AKU sudah mencoba membangun dinding-dinding yang kokoh. Perlahan ku letakkan batu bata yang kuat hingga menjadi sebuah dinding. Namun, hanya dalam hitungan menit, dinding itu hancur lebur karena dirimu kembali.

Kamu hadir layaknya tsunami yang mampu memporak-porandakan tembok yang ku bangun dengan susah payah. Dan aku mulai terjebak lagi dengan rasa yang sama.

Kali ini lebih menyakitkan. Karena kau hadir dengan status yang berbeda. Dalam hati ku mulai bertanya.
Apakah rasa yang muncul ini masih sama dengan dulu?
Atau ini hanya sekadar serpihan-serpihan residu?
Apa yang dia mau?
Kenapa harus hadir sekarang?

Tiba-tiba pertanyaan ini muncul bertubi-tubi dalam pikiran setelah aku bertemu denganmu.
*
Aku adalah Anin, siswa yang baru selesai mengikuti ujian nasional SMA. Saat itu, seperti siswa pada umumnya, Aku mulai sibuk untuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi sambil menunggu hasil ujian nasional keluar.

Baca Juga :   Sudahlah Pemerintah, Menyerahlah.....

Sembari menunggu hasil ujian, Aku menjadi pengajar di bimbingan belajar di sebuah pinggiran Kotaku.
Kisah pilu ini bermula dari aku mengajar di bimbingan tersebut.

“Hai,” sambil tersenyum seorang laki-laki tinggi sekitar 183 cm dengan kulit putih, rambut hitam lurus menyapaku. Ketika itu aku sedang sibuk merapikan pensil dan kertas yang berserakan di atas meja.
“Hai, Dik!” sapanya.

“Oh maaf, Kakak panggil saya?”

“Iya lah Dik, mau panggil siapa lagi. Kan cuma kamu yang ada di situ?” sambil tersenyum padaku.

“Oh iya Kak, ada apa?”

“ kamu Anin ya?” tanyanya.

“Iya Kak, saya Anin,”
Seketika dalam batinku, Kenapa dia tau namaku ya?”

Seolah cenayang, laki-laki tersebut memahami kebingungan yang tampak pada mukaku.
Seketika dia menjawab “Saya tahu dari Mas Budi Dik. Katanya kamu mau ambil jurusan kelautan di Universitas Bangsa?” tanya nya antusias.

Baca Juga :   Jika Saya Menjadi Pejabat

“Iya Kak, tapi masih mau tes masuk dulu bulan depan,”

“Mas Budi tadi bilang ke saya agar bisa membantu kamu. Soalnya saya sekarang di jurusan yang sama dengan jurusan yang kamu ambil,” dia mencoba menjelaskan maksudnya.

“Ow, begitu ya, Mas Budi yang cerita, saya kira kakaknya cenayang yang bisa membaca pikiran orang, hehehe. Oh iya, nama kakak siapa? Kan tidak adil, Kakak tau nama Saya dan Aku tidak tau nama Kakak,”

“Nama saya Putra Dik. Boleh minta nomor teleponmu? Saya hanya ingin membantu kamu jika kamu ingin lebih tau tentang jurusan yang kamu ambil. Misal kamu bingung, kan tinggal telepon Kakak, atau SMS Kakak,” sembari tersenyum.

Seakan terhipnotis dengan perkataanya dan wajahnya yang keliatan berkharisma ketika tersenyum, dengan mudahnya aku memberikan nomor teleponku.

Dia memang berbeda dengan laki-laki yang pernah aku temui sebelumnya, penampilannya sederhana, dengan memakai kemeja berlengan pendek dan berwarna hijau tua, menambah kewibawaan dan ketampanan nya.

Baca Juga :   Pemilu Tanpa Politik Uang, Mungkinkah?

Seolah aku hanyut memandangnya. Ssehingga ku lupa jika tiba-tiba pipi ku mulai berwarna merah karena tersipu olehnya.

“Dik Anin, kamu kok lucu?” tanyanya sambil tertawa.

“Kok bisa lucu kak Putra?”

“Mukamu merah kayak tomat,”

Ya Tuhan, seketika saya tersadar kalau dari tadi saya memandangnya dan tanpa sadar pipiku menjadi merah.

“Oke, mulai sekarang kamu aku panggil tomat,” Tiba-tiba dia menyeletuk dengan tertawa senang melihat mukaku yang tiba-tiba berubah warna.

Dan akhirnya kita tertawa bersama. Pertemuan pertama itu meninggalkan kesan yang mendalam bagiku. Sejak saat itu Aku dan Putra saling berkomunikasi lewat telepon.

Sebulan telah berlalu. Waktu ujian masuk perguruan tinggi telah di depan mata. Setelah janjian lewat telepon, Putra mengantarku ke tempat lokasi ujian. Putra dengan sabar menunggu di depan gedung sampai ujiannya selesai. Bagiku, Putra adalah laki-laki yang sangat baik.