Puasa di Luar Negeri: Cerita dari Negeri Stalin (3)

1251

Oleh: Nurhalimah, Rusia

RAMADAN tahun ini berbeda dengan tahun lalu. Pandemi corona menyebabkan semua aktivitas reguler sepenuhnya saya jalankan dari asrama.

Saya tinggal di Kota Saint (St.) Petersburg. Letaknya sekitar 714 km sebelah utara ibukota Rusia, Moskow. Di sini, setiap hari, puasa lamanya hampir 19 jam. Subuh di St. Petersburg adalah pukul 02.30 waktu Rusia, dan berbuka puasa bisa antara pukul 20.30 sampai 21.00 lebih sedikit, waktu Rusia.

Pagi hari, saya bekerja freelance mulai jam 08.00 sampai jam 16.00. Malam pukul 18.30 sampai pukul 22.00 saya kuliah. Selesai kuliah itu, di bulan Ramadan ini, saya baru memasak untuk sahur.

Di asrama, ada satu teman yang sama-sama dari Indonesia. Ia laki-laki dan berasal dari Makassar dan sangat pintar memasak. Jika kebetulan waktunya pas, dan kami sama-sama rindu masakan tanah air, maka dengan senang hati ia akan membuatnya. Salah satu andalannya: bakso.

Baca Juga :   Pungutan Liar Insentif Guru PAUD

Saya sendiri tidak begitu pandai memasak. Kalaupun memasak, paling-paling makanan yang tidak ruwet. Menggoreng telur, ayam, sosis, merebus mie instan, dan makanan-makanan simpel lainnya.

Berbeda dengan Ramadan tahun lalu. Saat itu saya masih tinggal di Pskov, sebuah kota yang berdempetan dengan negara Estonia.

 

Sewaktu Pskov ada mungkin sekitar 10 kawan muslim dari berbagai negara seperti Mesir, Afghanistan, Kazakhstan, Tajikistan. Kami sering masak, berbuka, dan tarawih bersama di asrama.

Di sana, kadang-kadang oleh warga saya ditanya kenapa saya berjilbab, sebab nenek-nenek mereka dulu yang penganut Kristen Ortodoks juga memakai jilbab. Saya jawab, karena saya muslim, dan mereka langsung paham. Orang-orang Pskov baik dan ramah.

Agama mayoritas di Rusia barangkali adalah Kristen Ortodoks. Namun orang-orang yang tidak beragama, setahu saya, juga banyak. Karena itu, urusan keyakinan tidak begitu jadi soal di sini. Sehari-hari, kemanapun saya pergi, saya selalu mengenakan jilbab dan saya merasa aman dan baik-baik saja.

Baca Juga :   Tour Guide Bali Banting Setir Jadi Perajin Makrame, Omset Puluhan Juta Sebulan

Sebenarnya saat ini di St. Petersburg saya memiliki beberapa teman muslim dan kami sering jalan bersama. Namun sekali lagi, karena pandemi corona, banyak tempat makan, kafe, hingga tempat ibadah yang ditutup.

Andaikata tidak ada pandemi, ada banyak sekali makanan enak yang bukan makanan asli Rusia. Orang-orang Turki, Uzbekistan, Kazakhstan, dan negara ‘tan’-‘tan’ lainnya banyak yang menjual makanan, dan tentu saja, halal.

Salah satu makanan enak dan jarang ditemui di Indonesia adalah plov. Ini makanan asal Uzbekistan. Berasal dari beras yang ditumis bersama bumbu rempah-rempah di dalam minyak dan ditanak dengan air kaldu. Lauk yang paling cocok bersanding dengan hidangan ini adalah daging domba yang empuk.

Baca Juga :   Belajar Ber-Bhinneka ke Balun, Desa Pancasila di Lamongan

Makanan khas Rusia sendiri kurang cocok dengan lidah saya yang terbiasa mencecap makanan kaya bumbu. Misalnya, sup khas Rusia bernama borscht. Itu adalah sup kental, warnanya merah yang berasal dari ekstrak buah bit. Isinya sayuran dan kacang. Lidah saya sulit bersahabat dengan makanan itu.

Andai tidak ada pandemi corona, Anda mungkin akan saya ajak melihat keindahan St. Petersburg. Kota ini sangat indah dengan Sungai Neva yang membelahnya dan berhias banyak sekali kanal. Termasuk di dekat kampus saya.

Ibarat di Indonesia, jika Moskow adalah Jakarta, maka St. Petersburg adalah Yogyakarta. Kota budaya yang menyenangkan.

Istana-istana peninggalan Kekaisaran Rusia juga banyak tersebar di St. Petersburg. Ada museum terbesar kedua setelah Museum Louvre, Prancis. Namanya Museum Hermitage. Museum ini adalah salah satu museum tertua dan menempati Istana Musim Dingin Kekaisaran Rusia.