Pudarnya Perajin Perak di Gajahbendo, Kabupaten Pasuruan

1992

 

Pada masanya, Gajahbendo sempat menjadi salah satu sentra kerajinan perak di Kabupaten Pasuruan. Tapi, eksistensinya kini mulai memudar.

Oleh: Miftahul Ulum

SIANG selepas shalat dhuhur berjamaah, Sujoko yang sudah berganti kaos putih dan celana jeans pendek lusuh mulai menyiapkan mesin poles. Ia adalah salah satu dari sedikit perajin perak yang tersisa di desa Gajahbendo, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan.

Jika dihitung, sudah 27 tahun lelaki yang akrab disapa Joko itu menggeluti aktivitas perajin perak. Dimulai sejak umur 13 tahun, Joko yang kala itu baru lulus sekolah dasar, kini telah berusia 40 tahun.

“Dulu umur 13 tahun sudah mulai belajar nggarap perak, tahun 1993 kalau tidak salah,” ungkap Joko sembari memasang amplas pada bulatan ban kecil yang akan digunakan untuk memoles perak.

Kejayaan industri kerajinan perak di Bangil dan sekitarnya mencapai puncaknya sekitar tahun 2005. Termasuk di Gajahbendo, yang bersebelahan dengan ibu kota kabupaten ini.

Baca Juga :   Kehidupan Pribadi RAA. Soejono, Bupati Pasuruan yang Jadi Menteri Belanda (2)

Setelah itu, satu persatu perajin tumbang. Jumlah mereka tak sebanyak ketika permintaan barang dari Bali dan Yogyakarta masih ramai. Sekarang, mereka hanya mengandalkan pesanan lokal, atau bahkan perseorangan.

Joko adalah satu dari 4 perajin tersisa di Gajahbendo. Dia cukup beruntung memiliki sedikit modal dan keterampilan mencari pasar setelah keruntuhan pasar kerajinan perak di Bali dan Yogyakarta.

Kini ia mengerjakan pesanan emban/cincin akik dari salah satu pedagang di Pasar Turi dan pedagang di Madura. Sepuluh hari sekali, rata-rata pesanan mencapai 100 pcs. Kadang bisa lebih atau kurang.

Di awal-awal pandemi, ia mengeluhkan sepi pesanan, karena bahan baku dari luar sulit didapat. Kini keadaan sudah mulai normal, rata-rata setiap sepuluh hari dia menyetorkan hasil kerajinannya ke Pasar Turi.

Baca Juga :   Berkenalan dengan Ali, Pengukir Relief Keluarga Cendana dari Bukir

Sebelum menyuplai pasar lokal, Joko dan teman-temannya, merupakan perajin yang melayani pesanan kerajinan dari Bali. Segmentasi pasarnya turis mancanegara, bahkan juga diekspor ke luar.

Tapi sekarang, karena berbagai faktor, pesanan dari Bali sudah sepi. Sehingga para perajin harus berupaya sendiri untuk mencari pangsa pasar baru.

“Keberuntungan” datang tatkala di tahun 2014, batu akik tiba-tiba menjadi viral dan digemari oleh masyarakat luas. Joko dan perajin lain.sampai kewalahan untuk menyelesaikan pesanan. Dan di tahun yang sama, Joko mulai menerima pesanan tetap dari pedagang cincin akik dari Pasar Turi.

Modal awal Joko 1 kilogram perak, yang sekarang di kisaran harga Rp 10,5 Juta. Dari perak tersebut, Joko mulai mengerjakan sesuai pesanan.

Dengan 1 Kg perak, ia bisa menghasilkan minimal 100 buah emban. Seperti yang sedang ia kerjakan saat ini, 110 emban dengan berbagai ukuran menghabiskan 8 onz perak. Sedangkan campurannya 7,5 persen tembaga.

Baca Juga :   Air Terjun Granjangan, Surga Tersembunyi di Kaki Arjuno-Welirang

Setiap 1 onz perak, campurannya 7,5 gram tembaga. “Kenapa tembaga, karena lebih lunak dalam pengerjaanya,” ujarnya.

Nantinya oleh pedagang di Pasar Turi, setiap gramnya dihargai Rp 17.000, kira-kira dalam satu setoran ia mendapat penghasilan 10-11 juta. Penghasilan bersih bisa mencapai Rp 3-3,5 juta dalam setiap setoran. Penghasilan yang lumayan sebenarnya. Karena itu, ia menyayangkan bila tidak ada lagi penerus perajin perak seperti dirinya.

Joko merupakan generasi terakhir perajin perak yang masih bertahan. Di bawah dia, sudah tidak ada lagi yang berminat untuk menjadi perajin perak. Anak muda lebih memilih bekerja di pabrik, atau di kantor.

“Kelihatanya memang kotor pekerjaannya, tapi penghasilannya lebih besar daripada jadi buruh pabrik. Mungkin mereka gengsi, kerjaanya seperti tidak ada ajine,” ungkap joko sembari mengamplas emban.