Pudarnya Perajin Perak di Gajahbendo, Kabupaten Pasuruan

1992

Padahal sebenarnya, kerajinan perak pernah menjadi salah satu UMKM yang menjadi produk andalan Kabupaten Pasuruan. Bahkan, bisa menghidupi masyarakat banyak. Kini prajin perak semakin sedikit dan tidak ada penerusnya.

Kepedulian pemerintah juga sudah lama tidak dirasakan oleh Joko dan teman-temannya. Ia mengaku tak pernah sekalipun ditilik untuk mengetahui keadaan para perajin.

Dulu, pemerintah sempat memberikan bantuan berupa kredit bergulir. Tapi, kemudian macet tak ada yang mengangsur. Menurut Joko, mungkin itu menjadi salah satu alasan pemerintah menarik bantuan dari para perajin.

Namun begitu, ia tetap berharap pemerintah bisa memfasilitasi untuk memperluas pangsa pasar kerajinan perak. Sekaligus kembali memberi bantuan modal bagi perajin yang kesulitan.

Baca Juga :   Kehidupan Pribadi RAA. Soejono, Bupati Pasuruan yang Jadi Menteri Belanda (2)

Joko sendiri merasa beruntung karena memiliki modal untuk membeli perak yang membutuhkan modal cukup besar. Teman-temannya yang lain kondisinya cukup memprihatinkan, salah satunya Slamet Wahyudi, tetangganya yang juga perajin perak.

Yudi, biasa Slamet Wahyudi disapa sudah meggeluti kerajinan ini sejak kelas 5 SD. Waktu itu ia ikut Juragan alm. Marjono, yang tak lain pamannya sendiri.

Setelah belajar kepada pamannya sendiri, Yudi kemudian merantau ke Bali, dan bertahan sebagai perajin di sana selama 8 tahun lebih.

Di rumah sederhananya, di belakang rumah yang hanya tertutupi seng, Yudi mengerjakan pesanan kerajinan perak.

Sebelum pandemi, ia bisa menerima pesanan emban perak 50-70 buah. Modalnya setengah kilogram perak ia dapat dari meminjam uang di bank.

Baca Juga :   Berkenalan dengan Ali, Pengukir Relief Keluarga Cendana dari Bukir

Dalam seminggu ia bisa mendapat keuntungan Rp 1-1,5 juta satu kali garapan.
Akan tetapi, karena pandemi, pesanan macet. Perak yang seharusnya menjadi modalnya, ikut terjual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Kini ia hanya sesekali saja mengerjakan pesanan emban alpaka, itu pun tidak menentu. Ketika WartaBromo.com meninjau di rumahnya, Yudi sedang memoles emban-emban pesanan yang harus diselesaikan dalam sehari.

Sejak pandemi, ia sudah tidak mengerjakan kerajinan perak sama sekali. Ia hanya menjadi buruh poles emban alpaka yang sudah dicetak sebelumnya. Dengan upah per buah seribu rupiah, ia mengaku harus mengencangkan ikat pinggang.

“Kalau emban alpaka ini murah, saya cuman buruh poles dan ngamplas saja. Kalau perak saya gak kuat, modalnya besar. Sebenarnya pesanan ada, Cuma modalnya itu yang tidak ada,” ungkap Yudi dengan raut muka lelah.

Baca Juga :   Air Terjun Granjangan, Surga Tersembunyi di Kaki Arjuno-Welirang

Ia berharap pemerintah memperhatikan para perajin perak yang sudah hampir punah. Modal menjadi keluhan utamanya, sehingga ia tidak bisa mengambil pesanan kerajinan perak.

“Mau mas kalau pemerintah bantu modal, biar bisa beli perak lagi,” pungkasnya, sembari memoles emban. (asd)