Mengunjungi Kampung Tempe Parerejo; Cetak Petani Milenial, Pernah Magang di Jepang

3301

Mendengar kedatangan kami, Ferry pun keluar rumah dan menyambut kami dengan ramah. “Silahkan masuk, Mas. Mari berbincang saja di dalam,” ujarnya. Ferry pun memulai ceritanya ketika ingat saat susah dulu. “Rumah ini dulu tidak begini. Masih gedek. Ini hasil saya diajari bapak bertani sejak saya masih kelas 3 SMP,” imbuhnya memulai cerita.

Ketika kelas 3 SMP, usia Ferry saat itu masih 15 tahun. Ia pun sudah belajar bertani. Dia diminta sang ayah Joko Wicaksono untuk memproduksi tempe milik keluarga. Selain itu ia juga rajin memeras susu sapi untuk dijual di koperasi terdekat. Nutrisi sapi perah itu didapat dengan memanfaatkan limbah tempe milik keluarganya.

Pekerjaan ini ia jalani sampai berada ke jenjang SMA Darut Taqwa, Purwosari.
Sebelum ke sekolah, setiap pagi hari ia memeras susu untuk dijual. Kemudian saat pulang sekolah, ia menyabit rumput untuk sapi-sapi milik bapaknya. Dan malam harinya ia membantu memproduksi tempe. “Bahkan, saat sekolah SMA, saya bisa buat bayar sekolah sendiri. Terus mencicil beli motor sendiri,” urainya.

Tidak mudah bagi Ferry untuk membagi waktu. Antara sekolah dan bekerja. Pernah dirinya dihukum guru lantaran sering telat masuk kelas. Bakan, orang tuanya pun sempat dipanggil pihak sekolah. Ia juga sering kena bully teman-temannya di sekolah karena terlalu mengutamakan pekerjaan.

“Ya itu saya alami. Tapi saya senang, karena setelah lulus SMA, saya punya tabungan Rp 30 juta. Sebagian saya buat bangun rumah ini secara bertahap,” tegasnya.

Keuletan dan perubahan nasib Ferry mulai terlihat. Ini setelah pada 2016, ia mendapat kesempatan untuk magang di Jepang selama satu tahun. Untuk bisa magang di negeri Sakura itu tidak mudah. Ia pun diseleksi secara bertahap. Mulai dari tingkat desa melalui Gapoktan. Kemudian tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga lolos ke tingkat nasional. Antar tahapan itu ia lalui selama tiga tahunan atau sejak 2013.

“Saat sudah masuk seleksi nasional itu diambil 43 anak yang lolos (satu angkatan) untuk magang di Jepang,” katanya mengisahkan.
Sebelum terbang ke Jepang, Ferry dkk mendapat pelatihan bahasa dan budaya Jepang, pertanian dan peternakan. Ia pun digodok di Balai Peyuluh Pertanian Ketindan Lawang. Untuk selanjutnya dilatih di Jakarta.

Baru pada 2016, bersama puluhan peserta lainnya, ia berangkat ke Jepang. Ia ditempatkan di Kota Chiba. Sebuah kota di Timur Tenggara dari Kota Tokyo. Di Chiba, Ferry bersama 4 temannya magang dengan merawat 268 sapi dan 12 Ha sawah. “Karena saya sudah belajar di sini, ya di Jepang agak mudah. Yang saya salut dengan orang Jepang itu kedisiplinannya, kebersihannya dan teknologinya,” kesannya.

Selesai magang, sebenarnya Ferry ditawari untuk bekerja di Jepang. Soal bayaran, jangan ditanya. Tentu jauh dengan bayaran rata-rata disini. Namun, tawaran itu ia pertimbangkan dengan pihak keluarga. Dan akhirnya ia putuskan untuk berwirausaha, menjadi petani muda di rumah sendiri.

Bekal magang di Jepang itu coba ia terapkan di sini. Ia pun berusaha menjalin komunikasi dengan banyak petani dan peternak. Usaha produksi tempe milik keluarga ia tingkatkan. Bahkan, sebelum pandemi, ia bersama keluarganya bisa memproduksi kedelei hingga 3 kuintal per hari.

Hasil produksi tempe itu kemudian ia tabung. Untuk selanjutnya membuat kandang untuk ternak sapi. Awalnya bertahap. Namun lama kelamaan berkembang menjadi 16 ekor. Sapinya pun bukan sapi biasa. Jenis limosin ataupun simental. Jika dijual per ekor bisa sampai Rp 20-30 juta.

“Saya pernah jual 12 ekor bisa dapat uang sampai Rp 250 juta,” terang petani milenial kelahiran 13 Februari 1990 ini.
Anak dari pasangan Joko Wicaksono-Tunisah ini pun berbagi rahasia. Utamanya penggemukan sapi miliknya. Selain karena perawatan, juga karena protein makanannya.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.